Paradox of Happiness (Semakin Dikejar, Semakin Depresi)

Share this

Tidak sedikit orang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya. Kesuksesan dikejar demi  mendapatkan kebahagiaan. Kerja keras, banting tulang, dapat gaji besar untuk apa? Demi bisa memiliki hal-hal yang dirasa, bisa membuat bahagia. Berlibur bahkan sampai ke negara seberang, untuk apa? Mencari pengalaman yang bisa meningkatkan kebahagiaan. Semua ditujukan untuk sebuah kondisi, bahagia. 

Emang ada yang salah dengan mengejar kebahagiaan? Percaya gak semakin dikejar, kebahagiaan itu justru akan semakin menjauh. Semakin Anda berfokus untuk bahagia, menjadikan bahagia sebagai goal utama. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Anda akan cenderung semakin sulit merasa bahagia. Mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi Ini lah yang kondisi yang disebut dengan the Paradox of Happiness.

Fenomena ini pertama kali dipelajari oleh Iris Mauss, seorang profesor dari University of California. Menurut studi dari Mauss, orang-orang yang menjadikan bahagia sebagai goal dalam hidupnya, akan sering mengecek kondisi emosionalnya. Liburan yang ditujukan untuk mendapat kebahagiaan semata, akan dipenuhi dengan ekspektasi dan rencana A, B, C. Mereka akan cenderung mengevaluasi setiap aktivitas yang berjalan dan mempertanyakan ke dirinya sendiri apa yang saat itu dirasakan. Nah, saat kenyataan tidak berjalan dengan apa yang telah diekspektasikan, akan lebih mudah bagi mereka merasa kecewa.

Mereka yang terlalu berfokus pada kebahagiaan, akan cenderung membuat keputusan yang memberikan kesenangan lebih banyak bagi dirinya. Mana yang lebih membuatnya merasa bahagia. Dan seringnya, ini berkorelasi positif dengan seberapa cepat kebahagiaan itu akan bisa didapatkannya. Maksudnya gini, orang yang fokus mengejar kebahagiaan, cenderung ingin mendapatkan kebahagiaan tersebut secepat mungkin atau bahkan bisa jadi secara instan. Seperti, saat kamu punya waktu luang. Kalau diminta pilih nonton Netflix atau membaca buku, mungkin pilihannya akan ke Netflix. Karena kebahagiaan memiliki waktu luangnya bisa langsung dirasakan.

Baca Juga  Kekayaan Sejati

Orang seringkali tidak mampu memprediksi apa yang benar-benar bisa membuatnya bahagia. Dan tidak jarang mengambil referensi kehidupan orang lain sebagai standarnya. Padahal, bisa jadi tidak sesuai dengan kemampuan/kondisi orang tersebut. Menurut Jurnal Psikologi Eksperimen, ketika seseorang cenderung berfokus untuk mengejar kebahagiaan, kemungkinan besar ia akan berfokus pada hal-hal yang belum ia miliki. Tentu, ini akan membawa orang tersebut merasa frustasi dan depresi. Terus mengejar hal-hal yang belum dimiliki tanpa tahu kapan harus berhenti. Terus berlari, tanpa tau alasan untuknya berlari.

Satu lagi, social media seringnya menampilkan highlight dari moment-moment membahagiakan kehidupan seseorang. Ingat, highlight. Artinya, tidak terjadi setiap hari. Karena pada kenyataannya, kehidupan tidak selamanya ada di atas. Hidup tidak selalu tentang merasa bahagia. Justru, kebahagiaan baru bisa dinikmati setelah kita merasakan pahitnya penderitaan.

Menurut studi Maya Tamir, PhD, seorang profesor psikologi di The Hebrew University of Jerusalem. orang-orang di berbagai belahan dunia cenderung merasa ingin terus-menerus merasa bahagia. Jadi tidak heran banyak yang mendasari setiap keputusannya untuk bisa terus merasa bahagia. Padahal, kenyataannya hidup ini penuh dengan lika-liku, kerikil, bahkan batu besar. Bahkan dalam satu hari, Anda mungkin bisa merasakan lebih dari sekali perasaan yang tidak menyenangkan. Dan menurut saya, disitu lah kenikmatannya. Karena bahagia sepanjang waktu itu mustahil terjadi.

Kenapa saya bilang nikmat? Gini deh, bayangkan Anda sedang pergi ke gurun pasir yang panas, tandus, dan membuat tenggorokan Anda kering. Setelah jauh melangkah, Anda melihat ada oasis di ujung jalan. Hijau pepohonan dan segarnya air, akan terasa lebih nikmat karena Anda baru saja merasa kepanasan dan dahaga. Pun dalam hidup yang kadang di atas, kadang di bawah. Kegiatan yang dijalani sehari-hari saja bisa terasa lebih membahagiakan setelah ujian yang membuat kita berhenti melakukannya.

Baca Juga  Debat Dalam Perpektif Leadership

Kebahagiaan, tidaklah selalu tentang euphoria, kesenangan, atau kepuasan. Bahkan, kita bisa tetap merasakan bahagia dalam sebuah penderitaan atau situasi yang tidak menyenangkan. Kalau Anda, berhasil mengambil pembelajaran dari sana dan berdamai dengan apa yang sedang terjadi pada diri Anda. Dengan demikian, Anda punya dorongan untuk mau bangkit keluar dari penderitaan.

Untuk merasa bahagia, tidak harus menunggu kondisi sampai sempurna sesuai dengan ekspektasi. Sebab kalau demikian, sampai mati pun kita tidak akan merasa bahagia. Kita mencintai pasangan, bukan berarti menyukai seluruh kebiasaan dan karakteristiknya. Kerjaan Anda saat ini mungkin menyenangkan, tapi rasa jenuh pasti akan hadir sesekali. Tidak ada kondisi yang benar-benar sempurna. Berdamailah dengan apa yang sedang terjadi saat ini di hidup Anda. boleh jadi sekarang Anda tidak suka, tapi nyatanya baik di masa depan.

Kebahagiaan sebetulnya tidak sulit dirasakan, tapi kadang pikiran kita sendiri lah yang menghalangi. Berhenti membuat ekspektasi terhadap apa yang sedang atau ingin dilakukan adalah salah satu cara menciptakan kebahagiaan. Dan sadarilah bahwa kebahagiaan Anda tidak akan sama persis dengan orang lain dan tidak perlu terus-terusan mencapai kesempurnaan atau kepuasan yang konstan. Naik turunnya mood itu wajar kok, nikmati saja semua hal kecil. Karena hal-hal kecil ini lah yang akan membawa kebahagiaan secara keseluruhan. Yuks, nikmati semua proses kehidupan, insha Allah bahagia akan menyertai kita semua.

Salam SuksesMulia

Jamil Azzaini
Inspirator SuksesMulia

1 comments On Paradox of Happiness (Semakin Dikejar, Semakin Depresi)

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
5 - 4 = ?
Reload

Site Footer