Jujurlah

Share this

Sabtu kemarin, usai memberikan training di Jakarta, saya berdiskusi hingga malam dengan salah seorang alumni Trainer Bootcamp. Karena Minggu saya harus memberikan training di Bank Indonesia maka malam itu saya menginap di Jakarta, tidak pulang ke Bogor. Paginya, saat sarapan di hotel tempat menginap, saya menonton liputan salah satu TV tentang polisi jujur.

Kesan yang saya tangkap, polisi yang jujur itu pasti hidupnya sederhana dan secara finansial “terkesan” pas-pasan. Di era sekarang, hidup jujur seolah bisa menjadi “ajur” alias hancur. Hal itu jugalah yang dikhawatirkan salah satu alumni Trainer Bootcamp itu apabila ia jujur. Lelaki yang pernah bekerja di Doha, Qatar ini dulunya pengguna narkoba tetapi kini ia sudah bertaubat.

Di tengah kesibukan bisnisnya, ia sedang serius menulis buku dan menjadi trainer. Saya memintanya agar pengalaman taubatnya ditulis dalam buku yang sekarang sedang digarapnya. Karena tanpa cerita itu, bukunya menjadi “kering” dan tak berbeda dengan kebanyakan buku yang beredar.

Ketika itulah ia berkata, “Kalau saya ceritakan secara jujur bahwa saya dulu adalah pengguna narkoba, saya khawatir orang tua saya syok dan stres. Selama ini, mereka mengira saya adalah anak baik-baik, tidak neko-neko. Apalagi mengkonsumsi barang haram itu.”

Menurut saya, ada aib yang memang perlu ditutupi tetapi juga ada aib yang bisa diceritakan. Apabila aib itu diceritakan dengan tujuan memberikan pelajaran kepada banyak orang, sebaiknya diceritakan. Apalagi bila ingin berprofesi sebagai trainer. Hindari terlihat hidup seperti malaikat yang terlihat sempurna tanpa cacat.

Bukankah Umar bin Khatab sahabat nabi yang dijamin masuk surga tanpa hisab sudah memberikan tauladan? Terkadang ia menangis tersedu-tersedu, namun dikesempatan lain ia tertawa sendiri. Sahabat beliau bertanya, “Mengapa terkadang kau menangis namun tak berapa lama kemudian kau tertawa?”

Baca Juga  Empati itu Ada Ilmunya

Umar menjawab, “Saya menangis bila teringat begitu teganya saya mengubur hidup-hidup anak perempuan saya ketika masa jahiliyah dulu. Sementara saya tertawa bila ingat kebodohoan saya. Dulu saat masa jahiliyah, saya membuat tuhan-tuhan dari tepung, setelah saya sembah, tuhan-tuhan itu saya makan.”

Kita tak boleh mengumbar aib, tetapi bila aib masa lalu bisa menjadi pelajaran bagi orang lain, secara jujur sebaiknya kita ceritakan. Tentu dengan terus berharap agar Sang Maha Pengampun mengampuni masa lalu kita yang kelam. Setuju?

Salam SuksesMulia!

Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @jamilazzaini


TBnCbatch8


20 comments On Jujurlah

Leave a Reply to Anggit Setyaningsih Cancel Reply

Your email address will not be published.

Site Footer