Kemarin, saya berkesempatan bertamu ke rumah Bapak Parni Hadi. Inisiator Dompet Dhuafa (DD) Republika ini dulu adalah pemimpin redaksi Harian Umum Republika, Dirut RRI, Pimpinan Antara dan jabatan bergengsi lainnya. Selain mantan boss saya, lelaki asal Madiun ini juga sudah saya anggap seperti orang tua saya. Saya memanggil beliau ayahanda.
Banyak ilmu yang saya petik selama ngobrol santai dengan beliau. Kegemarannya membaca buku dan merenung membuat ilmu yang dibagi kepada saya sangat bermutu. Bahkan ada yang “menohok” relung hati saya. Saat ia bercerita tentang pentingnya berbagi ilmu, ia mengatakan “sebelum kamu membagikan ilmu, ada prinsip yang perlu kamu pegang kuat. Bagi ilmu yang ananda punya bila memenuhi tiga hal: baik, benar, dan perlu”.
Ia menambahkan “yang baik belum tentu benar, yang baik dan benar belum tentu orang lain perlu” Saat saya sedang khusyu mendengarkan, tiba-tiba sang wartawan senior ini mengajukan pertanyaan kepada saya “kapan sesuatu itu dianggap perlu?”. Saya tergagap gagap menjawabnya, he…he…he….
Setelah saya menjawab, ia menambahkan “good jawabanmu, saya tambah dengan tambahan falsafah jawa: empan, papan, zaman. Sesuatu dianggap perlu jika empan (tepat), papan (pas tempatnya) dan zaman (pas saatnya atau waktunya)”. Saya pun menangkap pelajaran lain bahwa sesuatu yang baik, benar dan perlu itu akan membeningkan pikiran dan membersihkan hati seseorang.
Sembari mendengarkan pak Parni Hadi bercerita pikiran saya mengembara “apakah yang selama ini saya sampaikan kepada banyak orang itu baik, benar dan diperlukan oleh banyak orang? Apakah yang saya sampaikan itu menjernihkan pikiran orang lain dan mensucikan hati orang lain? Jangan jangan yang saya lakukan hanya untuk memuaskan ego saya.
Seolah tahu apa yang saya pikirkan, pak Parni Hadi melanjutkan wejangannya “jauhi pamrih saat kamu melakukan kebaikan. Sebab orang yang tidak punya pamrih untuk kepentingan pribadi, ia tidak akan pernah takut. Pamrih akan membuat seseorang merasa paling berjasa, merasa paling berkontribusi dan akhirnya cenderung meremehkan yang lain”.
Saya mengajukan pertanyaan “ayahanda bagaimana meniadakan pamrih atau setidaknya menurunkan pamrih?” Jawabnya menohok hati saya “gugat dirimu, ajukan pertanyaan: benarkah saya berbuat kebaikan dan kebenaran ini untuk kepentingan orang lain, jangan-jangan karena saya ingin dipuji, jangan-jangan untuk kepentingan saya pribadi, jangan-jangan agar saya diaggap berjasa?”. Ah pertanyaan tonjokkan ini masih terngiang-ngiang saat saya sedang menulis tulisan ini, di dalam pesawat Garuda, Jakarta – Balikpapan.
Usia pak Parni sudah 70 tahun, namun semangat, energi dan gairahnya masih membara. Bahkan ia menjelaskan kepada saya alasannya memakai tongkat agar ia sadar bahwa usianya sudah 70 tahun dan agar tidak “over dosis” semangat.
Bukan hanya wejangan, pak Parni memberikan tugas kepada saya “silakan ananda renungkan hasil pembicaraan ini, setelah itu buat program yang baik, benar dan diperlukan masyarakat dari hasil perenungan itu”. Hingga sekarang saya belum bisa menemukan program apa yang akan saya usulkan kepada beliau.
Namun saya sudah mendapat pembelajaran yang sangat berharga dari pertemuan kemarin bahwa ternyata “orang yang berpikir besar dan berjiwa pemimpin itu pandai membuat pertanyaan berkelas, pandai membuat tantangan yang merangsang pikiran dan tindakan”.
Terima kasih ayahanda Parni Hadi atas pembelajaran yang sangat berarti, terima kasih pula atas pelukan, kecupan di kening saya disertai dengan doa ayahanda untuk saya. Semoga ilmu dan kebijakan ayahanda menurun kepada saya dan generasi penerus program-program ayahanda.
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership
Founder Akademi Trainer