Di Ramadhan hari kedua, saat saya sedang menyendiri alias “me time” di masjid Nabawi Madinah, muncul pesan di whatsapp dari salah seorang tim saya di Indonesia “pak Jamil maaf mengganggu aktifitasnya, saya kirim video tentang program kita, mohon diperiksa.” Begitu video saya buka dan tonton, nama saya disebut beberapa kali di video tersebut. Entah mengapa, hati saya menjadi gundah gulana ketika itu.
Dialog antara pikiran dan hati terus berkecamuk dalam diri ini.
Pikiran: “Biarkan namamu muncul, itu khan menguatkan positioning kamu, memantapkan brand kamu. Hargamu bisa semakin mahal karena itu.”
Hati: “emang saya melakukan semua itu demi brand? demi positioning? bukan demi kebaikan orang yang terlibat dalam program? Kalau jawabnya, ya, ah betapa egoisnya saya. Ternyata saya melakukan demi nama baik saya, bukan demi kebaikan orang lain. Sekedar pencitraan, malu ah.”
Sang pikiran dan sang hati terus berdialog mencari titik temu. Dan setelah sekian lama merekan berdialog, akhirnya ditemukanlah kata-kata yang begitu menghujam yang menyadarkan pikiran dan hati. Kata-kata itu datang dari Imam Syafii : “Aku senantiasa berharap agar manusia mempelajari ilmu yang kumiliki ini, namun mereka tidak melekatkan satu huruf pun dari ilmu itu kepadaku.” (Al Majmu’, karya An Nawawi).
Dari penelusuran dan perenungan, sampailah kepada berbagai pendapat yang menyatakan: “masih berharap pujian dari sesama, masih berharap namanya dikenal karena kebaikan yang dilakukkannya adalah pertanda tipisnya keikhlasan dan lemahnya ketaqwaan.”
Duh Gusti, betapa malunya diri ini.
Selama ini, fokus positioning dan branding saya ternyata ada yang keliru. Selama ini, positioning dan branding saya semata-mata demi penilaian manusia. Padahal boleh jadi justeru itu memperlemah dan menipiskan positioning dan branding saya dihadapan Sang Maha Tahu, Sang Maha Mendengar.
Akhirnya, sang pikiran dan hati bersepakat dengan pernyataan “buat apa nama, positioning dan brand kita tinggi di mata manusia, tetapi tiada arti dihadapan Sang Pencipta. Berkaryalah setinggi-tingginya, tanpa harus nama kita dipuja-puja. Banjiri hidup kita dengan prestasi tanpa harus nama kita tertulis dalam prasasti.”
Usai menyimak perdebatan pikiran dan hati yang mencerahkan, dengan mantap saya membalas whatsapp tim saya “tolong nama saya yang disebutkan berulang-ulang oleh orang yang berbeda di video tersebut dihapuskan ya.”
Ya, “me time” pagi hari di masjid Nabawi telah menghasilkan kesadaran kepada saya, betapa personal branding yang keliru itu bisa mengangkat nama saya namun melenyapkan pahala. Nauzubillah min dzalik.
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
3 comments On Personal Branding, Bisa Menipiskan Keikhlasan
Masha Allah..
Saya jadi ingat, rekan kerja saya yang sudah senior.
Beliau selalu bilang, bahwa merasa hidupnya gak tenang jika ilmu yang beliau punya, belum disalurkan ke orang lain.
Beliau takut besok berpulang membawa ilmu itu sia2 ke alam fana.
Dan karenanya setiap hari beliau selalu mengajari kami banyak hal
Kenalkan saya ke temannya dong
???
Masya Allah…
Bangga dengan kakek Jamil…
Nasehat buat banyak orang… IKHLAS…