Merasa Mendengarkan Padahal Tidak Mendengarkan

Share this

Tujuh tahun yang lalu, anak pertama saya curhat, ia menyampaikan kegelisahannya kepada saya. Anak saya berkata “Pak, aku dan adik-adikku adalah anak bapak,  tolong perlakukan kami sebagai anak bukan sebagai karyawan.

Ajaklah kami bicara, jangan asal perintah atau nyuruh kami tanpa memperhatikan kondisi kami. Pertimbangkan juga pikiran, perasaan dan minat kami bila bapak meminta kami melakukan sesuatu. Kami sudah bisa diajak diskusi, kami sudah remaja, perlakukan kami sebagai sahabat, bukan sebagai karyawan.

Usai ia curhat, saya langsung memberikan pendapat dan nasehat kepada anak saya “Semua yang bapak lakukan demi kebaikanmu dan adik-adikmu, lihatlah sisi baiknya dan ambil pelajaran dari sana.” 

Dan tanpa saya duga anak saya memotong pembicaraan saya dengan berkata “aku tidak butuh nasehat bapak, aku hanya minta bapak mendengarkan.”

Deg, saya menarik nafas panjang. Mendengar respon jawaban anak saya, saya sangat terkejut. Karena saya menduga ia meminta pendapat dan nasehat dari saya, tapi ternyata justeru ia tidak ingin pendapat saya, ia pun tidak ingin dinasehati oleh saya.

Saya pun merenungi kata-kata anak saya yang berbunyi “aku hanya minta bapak mendengarkan”  Kalimat itu, tertancap kuat di pikiran saya.

Dan saya mulai bertanya dalam hati “bukankah saya sudah mendengarkan, koq masih disuruh mendengarkan.”  Dalam perenungan itu pun saya mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri “Bagaimana agar saya bisa mendengarkan dengan baik?”

Saya pun akhirnya belajar dan berguru ke orang yang ahli tentang seni mendengarkan. Saya pun mencari berbagai literatur tentang mendengarkan. Dan sampailah saya pada kesimpulan, ada 4 tipe mendengarkan

Pertama, Pretending, ini kelompok yang pura-pura mendengarkan. Fisiknya hadir namun pikirannya melayang kemana-mana, hatinya pun gelisah dan perasaannya tidak nyaman mendengarkan. Ia sebenarnya sudah tidak ingin mendengarkan.

Baca Juga  Bertanya yang Membantu Orang Sukses

Kedua, Selective Listening, kelompok ini hanya mendengarkan untuk topik-topik yang ia cintai dan minati. Apabila pembicaraan beralih ke hal lain, ia pun mulai mengabaikan.

Sementara yang ketiga adalah Attentive Listening, kelompok ini mendengarkan dengan seksama, fokus kepada kalimat dan kata yang terucap, ia juga aktif memberikan respon.

Dan level tertinggi atau level nomor empat dalam mendengarkan adalah Emphatic Listening, kelompok ini mendengarkan secara penuh, ia hadir seutuhnya, bukan hanya kata dan kalimat yang ia simak namun juga ia memperhatikan bahasa tubuh, mimik wajah dan emosi serta perasaan yang dirasakan oleh kawan bicaranya.

Mendengarnya tidak hanya menggunakan telinga tetapi juga mata dan rasa. Oh ya, saya lebih senang menggunakan kawan bicara dibandingkan lawan bicara. Kata lawan bicara bisa mempengaruhi otak bawah sadar bahwa yang saya ajak bicara adalah lawan, sehingg dorangan yang muncul adalah mengalahkan.

Sementara kawan bicara akan mendorong kita mencari win-win solution, manfaat dan dampak positif dari pembicaraan yang terjadi.

Kembali, ke empat tipe mendengarkan, Anda termasuk kelompok yang mana? Kelompok 1, 2, 3 atau 4? Saya menyarankan jadilah kelompok ke 4. Hingga saat ini, Saya pun sedang terus belajar mempraktekkan emphatic listening. Alhamdulillah, saya sudah meraskan hasil dari mempraktekkan emphatic listening ini.

Apa saja hasil dari emphatic listening? Berdasarkan pengalaman saya  pribadi dan berbagai literatur serta riset yang saya pelajari, apabila Anda mempraktekkan emphatic listening maka pengaruh Anda semakin menguat,  trust dan respect orang lain kepada Anda semakin meningkat, engagement dan keakraban Anda dengan orang terdekat semakin kuat,  Anda mudah menggerakkan orang lain dan Anda semakin dicintai orang-orang yang Anda cintai. Asyik khan?

Baca Juga  Carilah Makna dan Manfaat Lain

Mau Anda merasakan hal itu? Bila jawabannya mau, segera praktekkan emphatic listening dalam keseharian Anda.

Untuk mempraktekkan emphatic listening, kita perlu  memperhatikan beberapa hal:

Pertama, paham yang perlu dihindari. Lho, dalam mendengar ada yang perlu dihindari ya? Jawabnya, ya Ada. Apa itu? Tiga hal, yaitu ; menafsirkan, menghakimi, menasehati.

Jadi, bila ada orang curhat kepada Anda “Aduh, manajemen sekarang payah,  kebijakannya sering berubah-ubah, saya bingung” Lantas Anda menjawab “sama bro, saya juga stres” itu artinya Anda menafsirkan. Kawan bicara Anda tidak ngomong kalau stres, koq malah Anda yang stres. Ini menunjukkan Anda tidak respek dengan perasaannya dan hanya fokus kepada perasaan Anda.

Bila Anda berkata “sepertinya kamu kurang semangat dan kurang menikmati pekerjaan” itu artinya Anda sedang menilai. Kawan bicara Anda menjadi tidak nyaman. Ia bicara untuk didengar bukan untuk dinilai dan dihakimi.

Dan bila Anda berkata “sabar saja bro, setiap orang pasti dapat ujian” ini namanya menasehati.  

Perlu Anda ingat, orang yang suasana batinnya sedang tidak nyaman akan sangat sulit menerima nasehat. Ibarat Anda mau menuangkan air ke dalam gelas, tetapi gelasnya tertutup.

Kedua, Hadir utuh dan sadar penuh. Bukan hanya menyediakan waktu tetapi juga energi, kesabaran, keterbukaan pikiran dan kelapangan hati. Fisik dan non fisik menyatu, fokus mendengarkan apa yang disampaikan kawan bicara kita. Saat Anda mempraktekkan emphatic listening maka Anda pun melakukan single tasking fokus pada satu hal,  yaitu mendengarkan.

Anda menjauhi multitasking saat mendengarkan atau melakukan aktifitas lain saat sedang mendengarkan. Multi tasking ini merusak praktek emphatic listening.

Ketiga, beri respon emphatic. Respon emphatic ditandai dengan memahami perasaan kawan bicara, membuat pernyataan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan kawan bicara.

Baca Juga  Kritikus itu Penting

Dengan cara ini berarti kita menghargai apa yang dirasakan oleh kawan bicara, ini juga menjadi bukti bahwa kita menyimak dengan seksama apa-apa yang diucapkan kawan bicara.

Kalau ada orang yang curhat seperti contoh di atas, Anda bisa memberikan respon emphatic dengan mengatakan “oh kamu lagi bingung ya karena kebijakan manajemen berubah-ubah.” Kita mengucapkan sesuatu yang sebelumnya sudah diucapkan oleh kawan bicara kita.

Perlu Anda ketahui hubungan saya dengan anak saya dan juga tim saya semakin akrab dan produktif setelah saya terus mengasah emphatic listening saya dalam keseharian. Saya juga ingin Anda merasakan kenikmatan yang sama dengan saya.

Tetaplah menjadi Pemimpin yang benar-benar memimpin dengan mempraktekkan emphatic listening.

Salam SuksesMulia

Jamil Azzaini
Inspirator SuksesMulia

1 comments On Merasa Mendengarkan Padahal Tidak Mendengarkan

Leave a Reply to Selamet Hariadi Cancel Reply

Your email address will not be published.

Site Footer