Belajarlah dari Seorang Anak

Share this

Belajar adalah sesuatu yang tanpa sadar telah menjadi bagian dari hidup kita sejak masih anak-anak. Ketika kita kecil kita mulai belajar melalui apa yang kita lihat dari orang-orang terdekat dengan kita terutama orang tua kita. Kita belajar arti sebuah kejujuran tatkala orangtua kita secara konsisten menanamkan nilai-nilai kejujuran itu pada diri kita, demikian juga sebaliknya kita juga bisa belajar berbohong tatkala melihat orangtua kita berbohong dan tidak konsisten terhadap apa-apa yang dibicarakannya.

Anak-anak cenderung melihat dan mengerjakan apa yang dikerjakan orangtuanya, “Children See, Children Do”. Dari keluargalah pondasi hidup yang akan membentuk kita ketika dewasa nanti.

Hari itu Rabu, 08 Januari 2014, Sungguh hari yang sangat luar biasa, Saya belajar dari seorang anak kecil yang baru berusia 6,5 tahun. Seorang bocah yang membuat hati saya senang, bangga, dan juga terharu melihat pembelajaran yang diberikannya.

Alkisah, (sambil membayangkan ada musik yang mendramatisir suasana hehehe 🙂 ), Hiduplah sebuah keluarga kecil dengan 2 orang anak. Anak pertamanya seorang laki-laki yang belum genap berusia 7 tahun atau lebih tepatnya baru berusia 6,5 tahun, lincah, aktif, dan cenderung tidak punya rasa takut kepada siapapun juga dan saat ini sang anak sudah duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Anak keduanya seorang perempuan cantik berusia 4 tahun 11 bulan, sesosok gadis kecil yang lucu, mungil, lincah, dan cenderung sedikit pemalu.

Seperti kebiasaan hari-hari sebelumnya, keluarga kecil ini memulai aktivitas pagi sebelum berkumandangnya Adzan Shubuh memanggil. Tetapi hari ini, sebuah pembelajaran super dahsyat diberikan oleh anak laki-laki dari keluarga kecil tersebut. Sudah menjadi kebiasaan, Ayah dari sosok anak kecil ini pulang dari Mushola setelah Sholat Shubuh sekitar pukul 05.30 WIB. Dan seperti biasanya pulangnya Ayah dari Mushola, anak-anaknya belum ada yang bangun krn kebiasaan yang membangunkan anak-anak adalah sang ayah. Tapi hari ini, pulangnya ayah disambut dengan sudah bangunnya kedua buah hatinya dan hebatnya lagi sang kakak yang biasanya bangun paling siang dan agak susah untuk dibangunkan apalagi disuruh untuk mandi kali ini sudah berpakaian rapi dengan baju koko dan memakai sarung rapi.

Baca Juga  Para Peracik Nasi Goreng

“Assalamualaikum”, suara sang ayah menyapa anak-anaknya

“Wa alaikummusalam”, jawab kedua anaknya serempak, disusul dengan suara kakak yang agak keras “Papaa, Papaa, aku sudah mandi, aku juga sudah Sholat Shubuh Paa”. (Pelajaran pertama)

Spontan Papanyapun menjawab,”Anak Hebaaaaatttttttt,” sambil mendekati sang anak yang sedang asyik menikmati sarapan pagi Choco Crunchnya.

Setiap pagi, sebelum berangkat beraktivitas sang ayah selalu mengajak ngobrol 2 buah hatinya tentang apa-apa yg akan dikerjakan hari itu dan apa-apa yg telah sekolah ajarkan kepada mereka.
Dan pagi itu yang menarik bagi sang Ayah adalah ketika si anak menyampaikan tentang sebuah kalimat dalam bahasa arab yang berbunyi, “Al ilmu Nuurun Waljahlu dhoorun, Ilmu itu cahaya dan bodoh itu bahaya”. Ini hadits atau pepatah arab sang Ayah tidak faham betul (maklum bukan lulusan pesantren hehehe….)

Singkat cerita selesai ngobrol-ngobrol sang Ayahpun pergi meninggalkan anaknya yg masih asyik menyelesaikan sarapan paginya dan pergi ke dapur untuk menikmati secangkir teh hangat pagi hari yang telah dibuatkan sang istri tercintanya J .

Sebagaimana umumnya kebanyakan orang, menikmati teh atau kopi dipagi hari sembari membaca koran, majalah, atau apapun bentuk medianya adalah suatu kenikmatan yang luar biasa apalagi ditambah cemilan makanan ringan sebagai makanan pembuka sebelum sarapan pagi.

Sang Ayah menikmati Teh Poci yang telah disiapkan istri tercintanya di dapur sambil membaca sebuah majalah motivasi “Luar biasa, Succes is My Right” dari Andrie Wongso. Minum Teh, sambil membaca, terasa belum lengkap kalo belum ada teman yang namanya cemilannya. Karena tidak ada cemilan di meja, sang ayahpun berdiri dan membuka pintu kulkas. Dilihatnya didalam kulkas ada 2 buah roti yang masih terbungkus rapi.

Baca Juga  Pentingnya Memiliki Nama Besar

Sang ayah mengambil salah satu roti, membawanya keluar dari kulkas, dan membuka bungkus plastiknya, dan langsung mengigitnya, dan pada saat bersamaan sang anak selesai makan dan kedapur mau menaruh mangkuk bekas makannya dan melihat sang ayah menggigit roti sambil berdiri. Dengan refleks sang anak berucap,”Loh, Kok Papa makan sambil berdiri ?”

“Makan sambil berdiri kan gak boleh Pa ?”

“Makan sambil berdiri kan temannya Setan”, ujar anak itu.

Sesaat sang ayah terdiam “Speechless”, tidak bisa berucap dan kemudian mengambil duduk di kursi terdekat dengan kulkas, dan beberapa detik setelahnya baru berucap kepada anaknya, ” Iyaaa, kakak betul, makan sambil berdiri itu gak boleh, makan sambil berdiri itu teman setan, makanya supaya Papa gak jadi teman setan sekarang Papa duduk”, sambil melanjutkan menikmati rotinya dan sang anakpun kembali masuk ke dalam rumah. (Pelajaran kedua)

Dan pagi itu Pukul 06.30, Saatnya mengantar sang anak berangkat ke sekolahnya. Sebelum berangkat ke sekolah sempet terjadi perdebatan kecil dengan sang anak terkait dengan bekal apa yang mesti dibawa ke sekolah. Sebagaimana kebiasaan harian, anak-anak selalu membawa bekal dari rumah. Selain karena sekolah mewajibkan untuk membawa bekal juga sekalius memberikan pengajaran kepada anak-anak agar tidak jajan sembarangan termasuk aturan yang membatasi pemberian uang saku tidak boleh melebihi Rp 2.000,00.

Hari ini, sang anak menolak untuk membawa bekal dari rumah karena alasan bosan. Negosiasi Mama dan Papanya untuk membawa bekal akhirnya gagal. Karena gagal membujuk sang anak untuk membawa bekal, akhirnya Mamanya memberi uang saku untuk persiapan kalo nanti kepengin membeli sesuatu di kantin Sekolah.
Sepanjang perjalanan mengantar ke sekolah, sang ayah juga masih terus bernegosiasi agar si anak mau untuk membawa bekal. Karena sang anak tetep “keukeuh”, dan tidak mau membawa bekal akhirnya sang ayahpun menyerah untuk memaksa sang anak .
Dan akhir dari negosiasi yang gagal itu sang ayahpun berucap, “Ya sudah, kalo gitu nanti uang saku yang sudah dikasih Mama dibelikan jajanan ya di kantin sekolah”.
Sang anak menjawab,” Iya Pa, ntar nyampe sekolah aku ke kantin, tapi kalo kantinya masih tutup, ntar uang saku aku, aku infaqkan aja ya Pa”. (Pelajaran yang ketiga)
Untuk kesekian kalinya, sang ayah terdiam dan tak berucap apapun juga.

Baca Juga  Iman Dan Imun : Tiga Pembelajaran Penyintas Covid-19

Sang anak sampai di sekolahnya …..
Terima Kasih untuk Anakku “Zildane Aditya Tasqif Hibrizi”, hari ini engkau mengajarkan sesuatu yang luar biasa bagi Ayahmu.
Agus Heru Pitoyo

5 comments On Belajarlah dari Seorang Anak

Leave a Reply to myra Cancel Reply

Your email address will not be published.

Site Footer