Tadi malam penerbangan saya dari Dumai menuju Halim, Jakarta, terlambat sehingga saya tertinggal pesawat Halim-Solo. Karenanya, saya langsung meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta (Soeta) dan menginap di hotel dekat bandara agar bisa ikut penerbangan paling pagi. Saya menginap satu kamar dengan asisten saya.
Ternyata asisten saya tadi malam tidurnya (maaf) mendengkur begitu keras, mungkin karena ia terlalu lelah. Walhasil, saya pun tidak bisa tidur nyenyak. Akhirnya saya putuskan bangun lebih cepat dari biasanya. Pukul 01.52 saya bangun untuk shalat dan kemudian membuka laptop mengerjakan tugas-tugas yang belum tuntas.
Saat terbangun dini hari itu, pikiran saya melayang teringat istri saya. Betapa ia begitu sabar dan kuat tidur bersama saya bertahun-tahun padahal saya terrmasuk orang yang bila tidur mendengkur, bahkan dengkuran saya boleh jadi lebih keras dibandingkan dengkuran asisten saya.
Pikiran pun akhirnya meluas dan melebar kemana-mana. Betapa istri saya memang luar biasa, ia bersedia menerima saya sebagai suami dengan wajah pas-pasan. Tingkat ekonomi keluarga saya pun jauh di bawah dibandingkan keluarga istri. Kecerdasan istri saya juga lebih baik dibandingkan saya, setidaknya terbukti dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saat kuliah.
Saya pun teringat berbagai kelebihan dan kebaikan yang melekat pada istri saya dan banyak yang jauh melebihi saya. Dari kesabaran mendidik dan mendapingi anak hingga urusan spiritualitas rasanya saya kalah kelas dibandingkan istri saya.
Ya, tadi malam asisten saya sudah mengirimkan pelajaran penting untuk saya. Melalui tidurnya seolah ia berpesan, “Pak Jamil, bersyukurlah. Bapak punya istri yang mau menerima dan sabar atas berbagai kelemahan, kekurangan, keterbatasan dan aib-aib yang ada pada diri bapak.”
Saya merasa bersyukur tadi malam menginap di kamar hotel yang sama dengan asisten saya. Air mata yang mengalir pagi tadi menjadi saksi bahwa ada penyesalan di dalam hati.
Saat menulis tulisan ini di penerbangan Soeta-Solo pun terkadang saya masih menyeka air mata. Teringat betapa diri ini ingin selalu dilayani, dimengerti, diperhatikan dan menuntut banyak hal demi memuaskan ego pribadi.
Maafkan saya istriku dan terima kasih atas cinta, perhatian dan berbagai kebaikan yang selama ini engkau berikan. Dan saya sangat yakin, andai ucapan terima kasih di seluruh dunia dijadikan satu, rasanya itupun tak cukup membalas kebaikanmu kepadaku. Ya, betapa bersyukurnya aku…
Salam SuksesMulia!
Ingin ngobrol dengan saya? FOLLOW saya di twitter: @jamilazzaini. Atau, LIKE saya di facebook
7 comments On Terima Kasih Istriku
Tulisan ini bikin aku mewek beh… Aku juga baru sadar juga…
Sodorin tisu…
Pak Jamil. Terima kasih sudah mengingatkan betapa penting & berartinya istri kita. Semoga Pak Jamil dan keluarga selalu ada dalam keberkahan.
Ijin share sebagai perwakilan ucapan seorang suami pada istrinya :).
Salam.
Silakan…dengan senang hati….
obat mendengkur bangun jam 2 wudhu lalu sholat.. jadi ga lama2 mengganggu sekitarnya 🙂
He3x…l
Terima kasih mas Jamil sudah diingatkan kembali, kadang kala sy merasa egois mungkin krn merasa sdh bekerja seharian shg kadang minta dilayani sesuatu yg mestinya bisa sy kerjakan sendiri. Thanks a lot brother