Tersebutlah seorang lelaki, yang dengan “terpaksa” menikahi gadis yang tak diinginkannya. Menurutnya, gadis itu di bawahnya dalam segala hal, baik paras, pendidikan maupun keturunan. Intinya, pernikahan itu terjadi dengan nuansa cinta yang sangat hambar.
Maka mulailah episode kurang mengenakkan di antara pasangan ini. Dari hal-hal kecil bisa menyulut amarah si suami. Ia sering menyalahkan istrinya yang dianggapnya kurang berpendidikan dan berparas pas-pasan.
Bahkan, hanya gara-gara mencuci baju yang tidak sesuai keinginan, ia memarahi istrinya habis-habisan, sampai sang istri menangis. Dan merupakan hal biasa pula ia pergi dan pulang ke rumah seenaknya, tanpa mempedulikan perasaan istrinya.
Hingga sekian bulan kemudian, istrinya hamil. Meski sang suami bahagia, tapi ia tak merubah perilakunya, dan masih sering acuh tak acuh pada istrinya. Tampaknya, ia menganggap hal ini biasa saja, tanpa peduli bagaimana beratnya kondisi istrinya mengandung anak mereka.
Maka datanglah masa persalinan tiba. Saat proses persalinan, istrinya mengalami kesulitan hingga berjam-jam. Semula ia merasa cukup ditangani bidan dan dukun saja, maka ia bersikeras untuk tidak membawa istrinya ke dokter.
Namun hingga dalam kondisi kritis, si suami baru beranjak membawa istri ke dokter untuk mendapatkan pertolongan yang lebih memadai. Sesaat kemudian, anaknya lahir setibanya di rumah sakit. Tapi itu tak lama, Allah memanggilnya istri dan anaknya setelah bayi mungil yang tampan terlahir.
Sesal. Lelaki itu hanya bisa menyesal menerima kenyataan bahwa bayi yang diidam-idamkannya meninggal. Tapi lelaki itu lebih menyesal tak terkirakan karena dia kini mulai timbul perasaan. Perasaan kehilangan istri yang selama ini telah dinikahinya. Benaknya terus menerus bertanya, mengapa dia terlampau mengacuhkan istrinya. Perasaan hilang dan bersalah bercampur aduk menjadi satu.
Sobat, menikah itu memang ibadah. Tapi harus menjadi ibadah yang disiapkan sematang mungkin. Tak cukup hanya menjalankan tanpa ada perasaan di keduanya.
Saat mencari istri, seorang lelaki memang selayaknya memilih dan mempertimbangkan sematang mungkin. Namun saat akad nikah telah ia ucapkan, selayaknya ia menyadari bahwa Allah telah memilihkan wanita terbaik untuknya.
Maka, seperti apapun bentuk dan perilakunya, ia istri yang wajib dilindungi, disayangi dan dibimbing. Jika ada yang tidak pas, perbaikilah dengan cara yang baik. Dan jika ada yang baik pada dirinya, ikutilah dan pujilah ia akan hal itu. Karena bagaimanapun, istri tentu sangat berpengaruh pada kesuksesan suami. Jika suami bisa mensinergikan diri dengan istri, hidup akan terasa mudah dan indah, serta membahagiakan.
Tulisan dikirim oleh Muhammad Syukron Maksum.
9 comments On Tanpa Perasaan
sering kali kita terpedaya dengan apa yg kita miliki, hingga akhirny membuat sombong dan lalai.
syukron atas sharing ilmunya.
Masya Allah luar biasa tulisannya, makasih mas remindnya
menyentuh tulisannya…
terkadang qt baru merasa kehilangan ketika sesuatu yg qt anggap tdk berharga atau tdk terlalu penting hilang dari kehidupan qt…
hikmahnya sgt dalem tulisan ini…
salam SuksesMulia
@holistic_center
Wahai para suami yang berperilaku seperti kisah di atas segeralah tobat dan memperbaiki sikap agar tidak menyesal jika apa yang dikisahkan di atas benar-benar terjadi pada Anda.. Penyesalan selalu datang belakangan #peace
Siap. Saya segera bertobat bu. 🙂
jadzakumullah….
leading us Ya Rabb
assalaamu’alaikum…’afwan..smoga berkah…btw, jadi memesan buku2 itu? smoga ALLAH berkahi…ditunggu transferannya:) ‘afwan
Cinta dan penyesalan datang bersamaan,