Ada seseorang datang kepada saya dan berkata “pak Jamil, selama ini saya gelisah menjalani kehidupan, hidup saya galau jauh dari ketenangan. Alhamdulillah, sekarang saya mulai mendapat ketenangan hidup, dan itu terjadi ketika saya banyak menyendiri, fokus beribadah kepada Allah. Doakan saya pak, saya akan tinggalkan urusan dunia dan fokus beribadah kepada Allah.”
Saya pun mengajukan pertanyaan “apa yang Anda maksud urusan dunia?” Dia menjawab “pekerjaan dan bisnis saya pak” Saya pun melanjutkan “apa yang Anda maksud beribadah kepada Allah? Lelaki itu pun segera menjawab “sholat, zikir, wirid dalam kesunyian pak.”
Saya kemudian menjawab “kalau begitu saya tidak mau mendaokan Anda.” Lelaki itu terkejut “mengapa bapak tidak mau mendoakan orang yang hendak mendekat kepada Allah?” Saya jawab singkat “karena mindset Anda sangat keliru dan menyesatkan.”
Saya pun kemudian mengatakan bahwa semua hal yang dilakukan dalam rangka mengharap cinta dan ridho Allah serta cara melakukannya benar adalah ibadah. Kata kuncinya adalah NIAT dan CARA. Bekerja dan berbisnis dengan niat tulus, penuh kesadaran bahwa hal itu sangat dicintai oleh Allah dan cara melakukan bisnis atau bekerja tidak melanggar ketentuan-Nya maka semuanya bernilai ibadah. Jadi, ibadah bukan hanya aktivitas ritual semata seperti sholat, zikir, wirid, baca Al Quran dan sejenisnya.
Semua yang kita lakukan di dunia bila niat dan caranya benar adalah ibadah dan bisa menjadi bekal ke akherat. Janganlah yang dijadikan bekal hanya hal-hal yang sifatnya ritual belaka, itu tidak akan cukup dijadikan bekal. Seyognyanya, semua aktivitas, sejak bangun tidur hingga tidur kembali bahkan tidur sekalipun adalah sarana beribadah kepada Allah, menjadi bekal pulang ke kampung akherat. Semua aktivitas kita adalah perwujudan rayuan kita kepada Allah agar Dia semakin jatuh cinta kepada kita. Bagi saya, itulah spiritualitas.
Apabila kita sibuk ritual saja, maka saat kita meninggal putuslah kiriman pahala kepada kita. Sementara bila kita fokus kepada spiritualitas (yang di dalamnya ada ritual), saat kita meninggal, selain ada pahala yang terputus, masih ada kiriman pahala yang terus mengalir hingga hari kiamat. Dan pahala yang terus mengalir ini semuanya berkaitan interaksi kita dengan sesama, manfaatnya dirasakan oleh banyak orang bukan hanya oleh kita sendiri. Akumulasi kiriman pahala akan terus mengalir meski kita sudah terbujur kaku di dalam tanah. Apabila dalam bisnis adalah istilah passive income, dalam dunia spiritualis ada istilah passive pahala. Asyik khan?
Sibuk kepada ritual mungkin membuat seseorang menjadi lebih tenang, tetapi itu adalah jebakan setan. Orang tersebut terjebak memuaskan “ego” dan abai terhadap keadaan sekitar yang memerlukan pikiran, ucapan dan tindakannya. Kesempatan menebar manfaat kepada banyak orang menjadi berkurang bahkan bisa hilang sama sekali. Sungguh sangat merugikan bukan?
Menurut saya, menjadi spiritualis adalah pilihan terbaik dibandingkan menjadi ritualis. Karena di dalam spiritualis masih ada aktivitas ritual yang khusyu dan dilakukan secara proporsional. Di sisi lain, aktivitas non ritual juga dilakukan dengan penuh kekhusyuan (hadir penuh, sadar utuh) oleh seorang yang spiritualis. Hadir penuh ditandai dengan mengerjakan secara totalitas apa yang menjadi tanggungjawabnya. Sadar utuh bahwa apapun yang dilakukannya bisa dipertanggungjawabkan di dunia dan di akherat. Komplit.
So, pilih mana? Menjadi manusia Spiritualis atau Ritualis?
Salam SuksesMulia
Bogor, 26 Februari 2021
Jamil Azzaini
Inspirator SuksesMulia