Beberapa minggu lalu jalur pantai utara lumpuh, jembatan Comal yang menghubungkan Pemalang dan Pekalongan terputus. Momentumnya sangat “manis” tepat disaat jalur tersebut menjadi primadona banyak orang
Sekali dalam setahun, jalanan di pesisir pantai utara Jawa Tengah ini dipastikan menjadi padat, ramai, meriah dan sangat hidup. Perjalanan mudik yang sakral dan arus balik yang fenomenal yg terjadi sekali setahun dari para pencari rejeki, penjemput berkah dari tempat rantau ke kampung halaman tercinta
Amblesnya jembatan Comal di waktu yang “tidak tepat” jelang puncak arus mudik lebaran sontak membuat perjalanan para perantau yang melewati jalur tengah dan selatan jawa jadi terhambat. Macet itu sudah pasti (tidak putuspun sudah dipastikan macet dan padat merayap), ini akan berdampak ke jalur alternatif yang akan overload
Yang lagi mudik dan harus mengakses seputaran wilayah tersebut tentunya harus menyiapkan cadangan energi dan kesiapan mental, tentunya lahir dan bathin. Biar jadi bermakna dan berkesan apapun bentuk perjalanannya harus “dihadapi, dihayati, dinikmati”
Seperti halnya pengalaman dan pembelajaran yang saya dapat ketika menjalani episode kerja dengan profesi sebagai sales di wilayah ini 5 yang lalu. Kurang lebih setahun menetap di kota yang mendunia dengan warteg-nya, Kota Tegal yang sesuai tagline nya selalu “keminclong dan moncer kotane”
Brebes-Tegal-Pemalang-Comal-Pekalongan-Batang adalah wilajah jelajah yang mengajarkan banyak hal terkait penjualan baik strategi maupun eksekusi lapangannya, bersama beberapa pasukan tempur pantura (dulu kami menamakan diri The Tronton’ers… hehehe)
Kompetisi lapangan, karakteristik dan segmentasi market yang berbeda serta teritorial yang terbatas (coverage area) dipastikan akan memaksa seorang penjual untuk melakukan sesuatu. Jika tidak maka dia tidak akan bertahan lama, ditinggalkan pasar, mati dan terkubur tanpa jejak
Penggambaran kondisi waktu itu kurang lebih sebagai berikut, saat itu “lahan” (baca : potensi market) yang tersedia sangat terbatas dikarenakan coverage yang dipadatkan, jika menggarap diluar wilayah coverage itu artinya penyimpangan dan pelanggaran dimana wilayah tersebut sudah bertuan/digarap team yang lain, disamping itu “petani lain” (baca : kompetitor) begitu agresif untuk menggarap lahan yang sama dan berharap setiap bulan tetap menuai hasil panen yang melimpah
Sebenarnya dalam kondisi seperti ini terdapat kesempatan untuk membiasakan diri untuk bekerja lebih keras, memudahkan lahirnya kreatifitas, meninggalkan comfort zone, kesempatan belajar lebih banyak, menguji adaptasi diri dan pastinya proses ini akan melahirkan pengalaman yang akan membentuk figur penjual yang mumpuni dan andal
Ingatlah bahwa penjual sejati adalah mereka yang tidak hanya hebat, menonjol dan berjaya pada saat menggarap lahan subur di musim penghujan tapi yang juga selalu siap adu dan siap tumbuh ketika menemukan lahan kering karena kemarau
Bos saya dulu sering mencambuk mental dan menyemangati dengan kalimatnya, bisa jadi jualan kalian banyak karena anda tengah berburu di “kebun binatang”, apakah anda akan tetap hebat ketika saya meminta anda untuk berburu di hutan, di rimba raya.
Kondisi seperti ini bisa dialami oleh semua penjual baik secara pribadi ataupun secara kelompok/team, skala kecil maupun sekala besar, sehingga dibutuhkan satu strategi dan eksekusi yang menuntut satu syarat yakni HARUS KREATIF
Mari kita mengambil pembelajaran dari sisi lain Pantura berikut :
Fakta Pertama : Di jalur Pantura tepatnya diantara Kota Tegal dan Kota Pemalang, ada begitu banyak rumah makan yang menyediakan pilihan bagi para pengguna jalan, market utama mereka bukan orang yang ada di kota tersebut melainkan para pengguna jalan Trans Jawa (passing guest). Wilayah ini memang menjadi jalur “semut” namun tidak mudah membuat “para semut” ini untuk tertarik, butuh “gula” yang efektif untuk itu.
Diantara sekian banyak pilihan ada satu yang sangat berhasil efektif untuk menggiring “semut” untuk mampir. Saya menjamin jika anda melintas di jalur itu, andapun akan tertarik untuk singgah atau minimal mencari tau/ bertanya mengenai rumah makan ini. Nama rumah makannya Pring Sewu
Tak mudah survive dan menjadi pilihan utama dan pertama untuk bisnis kuliner ini di wilayah tersebut, apa yang dilakukan oleh pemiliknya untuk menjual sangat efektif. Dan key success nya adalah KREATIFITAS, ini adalah harga mati.
Kreatifitas yang sangat berbeda mulai dari beberapa kilometer sebelum rumah makan ini anda sudah akan “diteror” dengan sign board kreatif dengan jumlah yang sangat banyak, lebih tepat disebut road sign, anda akan dipandu setiap beberapa meter dengan road sign kreatif berisi petunjuk arah, pengingat, info jarak rumah makan, dan info service/program khusus dan menarik.
Anda akan dipaksa untuk “penasaran” dikarenakan tools ini. Museum Rekor Indonesia sampai mengeluarkan penghargaan atas hal tsb, rekor iklan/signboard terbanyak sepanjang sekian kilometer
Nuansa yang berbeda juga akan ditemukan saat mulai masuk, semua kreatif dan semua menjual. Sangat pantas jika dikatakan di PringSewu orang tak hanya makan tapi juga mendapatkan pengalaman terbaik
Fakta Kedua : di jalur ini juga ada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang “menjual diri” nya dengan cara berbeda. Pengusaha senior berusia 80 tahun yang seringkali mendapatkan penghargaan, Ibu Shinta Irawaty sebagai pemilik SPBU ini dengan cerdik dan sangat kreatif yang membuat tempat ini tidak pernah sepi.
Apa yang berbeda? Bayangkan jika sebuah SPBU memiliki 107 toilet, bukan hanya banyaknya, pemiliknya juga menggaransikan toilet paling bersih. Dan hal ini mendapatkan pengakuan 2 rekor Muri (toilet terbanyak dan terbersih)
Dalam kondisi apapun kreatifitas bagi seorang penjual adalah mutlak, kudu, harus dan wajib. Memang harus dipaksakan, harus dibiasakan, harus dinyalakan, harus putar otak, harus atur strategi untuk itu. Mulai dari sekarang karena Lambat = Disantap! Tidak kreatif = Mati!
Misriadi Mise -salesMAN-
Follow @misriadi_mise 0813 4258 3030 – 2B8104DF
1 comments On Sisi Lain Pantura
wah pengalaman lapangannya sudah sangat menguasai, bisa tau sampai se-detailnya di pantura. mantap 😀