Sepucuk Surat dari Madinah

Share this

Sofie BeatrixIni adalah hari ke 2 aku berada di Madinah. Menjelang dinihari yang dinginnya menusuk tulang kulangkahkan kaki menuju masjid Nabawi..

Saat memasuki gerbang menuju Roudhoh, tempat Muhammad sang nabi disemayamkan jiwaku bergetar, airmataku mengalir deras. Membayangkan seorang nabi yang begitu Mulia nan Agung. Bagaimana tidak mulia, setiap hari jutaan orang diseluruh dunia bersalawat untuknya. Setiap hari jutaan orang berziarah ke makamnya, berdesak desakan. Adakah orang yang lebih hebat dan mulia seperti itu di muka bumi ini?

Ya Rasulullah.. Ya Habiballah.. Betapa aku rindu.. Aku cinta.. Engkau manusia mulia, di rumahmu engkau meninggal, di rumahmu engkau disemayamkan.

Di rumah yang menjadi bagian dari masjid Nabawi ini. Perlahan tak terasa iring-iringan lautan manusia yang berdesakan itu menggerakkan aku semakin dekat kearahmu. Hatiku bergetar. Tubuhku ikut bergetar.

Yaa nabiallah.. Aku sudah dekat dengan jasadmu. Kusampaikan puji-pujian dan salamku kehadiratmu. Kupandangi satu sisi disamping kuburmu, disana terdapat mimbar tempatmu dulu membimbing dan memimpin para sahabat.

Disitu pula Bilal bin Rabah si pemilik terompah surga selalu mengumandangkan adzan. Diriku seolah berada pada masa itu. Terbayang saat dimana engkau telah terbaring lemah saat sakaratul maut. Tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutmu selain kalimat, ‘ummatii.. Ummatii..’ umatku.. Umatku..

Betapa engkau selalu memikirkan kami..

Pernah suatu ketika di sebuah majelis selepas sholat subuh engkau juga bertanya kepada para sahabatmu, “Siapakah makhluk Tuhan yang imannya paling menakjubkan?”

“Malaikat, ya Rasul,” jawab sahabat.

“Bagaimana malaikat tidak beriman, sedangkan mereka pelaksana perintah Tuhan?”

“Kalau begitu, para Nabi ya Rasulullah,” para sahabat kembali mencoba menerka.

Baca Juga  Yang Kecil yang Terabaikan

“Bagaimana nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka?” kembali engkau mementahkannya.

“Kalau begitu kami, para sahabat-sahabatmu, ya Rasul.”

“Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan. Mereka bertemu langsung denganku, melihatku, mendengar kata-kataku, dan juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kerasulanku.”

Lalu engkau terdiam sejenak, kemudian dengan lembut bersabda, “Yang paling menakjubkan imannya adalah kaum yang datang sesudah kalian semua. Mereka beriman kepadaku, tanpa pernah melihatku. Mereka membenarkanku tanpa pernah menyaksikanku. Mereka membela aku seperti kalian membelaku. Alangkah ingin dan rindunya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku itu…”

“Wahai baginda Rasulullah… akankah aku termasuk diantara orang yang kau rindukan ya Rasulullah..” bisikku lirih dalam hati.

Jelang dinihari ini, aku menikmati sepuasnya curahan hatiku. Berharap menjadi salah satu orang yang engkau rindukan..

Madinah, 16 Januari 2014, 01.00.

Sofie Beatrix

48 comments On Sepucuk Surat dari Madinah

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
9 * 2 = ?
Reload

Site Footer