Senyum Ibu Saya

Share this

Beberapa hari sebelum ibu saya meninggal, saya dikirimi video kondisi ibu saya yang sedang menahan rasa sakit. Ia minta dibawa pulang dari rumah sakit. Ia memilih dirawat di rumah. Saat itu, saya sedang di Konya – Turki, tempat sang penebar cinta, Jalaludin Rumi dimakamkan. Di kota yang mendapat julukan The City of Hearts saya terbayang berbagai cinta sepenuh hati yang saya dapatkan dari ibu saya.

Apabila saya menginap di rumah ibu, ia wanita yang tidur paling akhir namun bangun pagi paling awal. Sebelum subuh ia sudah terbangun, menggelar sajadah, bersujud kepada Allah swt dan kemudian menengadahkan tangan berdoa. Di dalam doa itu, ia menyebut nama orang-orang yang ia doakan, termasuk nama saya ada di dalamnya. Saya bisa mendengarnya karena sekali-kali saya berdoa pula di sebelahnya.

Usai ia berdoa, terkadang saya tidur di pangkuannya. Sambil mengusap kepala saya, ia selalu berkata “ojo lali karo Gusti Allah, ojo nganti mangan duwit haram (jangan lupa dengan Allah swt, jangan sampai makan uang haram). Pesan itu selalu saya ingat karena sudah ratusan kali saya dengar dari ibu saya.

Dalam renungan di Konya, saya mengadu kepada Allah swt : Ya Allah, hidup ibu saya dipenuhi kebaikan dan cinta yang dalam, ia wanita yang baik, tidak pernah menebar permusuhan, jauh dari perbuatan dosa, tetapi mengapa Engkau beri ia rasa sakit, saat ia sudah tidak berdaya. Mengapa Ya Allah?

Aduan saya dijawab oleh Allah swt dengan teringatnya saya akan kisah yang pernah saya dengar dari guru spiritual saya ketika ia membacakan kisah dalam satu kitab (buku).  Inti kisahnya; Ada seorang raja yang sangat jahat, kejam, semena-mena dan sangat tidak adil. Sang raja jatuh sakit. Semua tabib dikumpulkan, tidak ada satupun yang sanggup mengobati. Melalui diskusi yang panjang akhirnya para tabib menemukan obatnya.

Baca Juga  Impian Yang Terlupapun Bisa Terwujud

Sang raja perlu makan ikan tertentu yang ada di dasar laut, dimana pada bulan itu, sebenarnya bukan musim ikan tersebut, kemungkinan besar ikan tersebut tidak bisa ditemukan. Sang raja pun memerintahkan para prajurit terbaiknya untuk  mencari ikan tersebut. Ajaibnya, ikan tersebut mudah ditemukan dan tidak perlu ke dasar laut. Setelah memakan ikan tersebut, sang raja pun sembuh dari penyakitnya.

Beberapa bulan kemudian, raja di kerajaan lain yang terkenal baik, adil dan peduli kepada rakyat jatuh sakit dengan penyakit yang sama. Maka para tabib pun memberi nasehat yang sama agar raja memakan ikan yang dimakan oleh raja di kerajaan tetangganya. Dan kebetulan bulan tersebut adalah bulan musim ikan tersebut sehingga asumsinya akan mudah didapatkan. Namun faktanya, ikan tersebut tidak bisa ditemukan. Sang raja pun tidak bisa diobati dan akhirnya meninggal dunia.

Melihat fakta ini, Malaikat protes kepada Allah swt ; Ya Allah, raja pertama itu kejam, sadis dan tidak peduli kepada rakyatnya, tapi mengapa Engkau permudah obatnya. Sementara raja kedua itu adil dan peduli kepada rakyatnya, mengapa Engkau persulit obatnya.

Allah swt menjawab : Raja pertama memang kejam tetapi ia pernah berbuat baik, maka saya balas kebaikannya di dunia dan akan Aku siksa ia di akherat. Sementara raja yang kedua memang baik tetapi ia pernah berbuat salah, maka Aku hukum ia di dunia dan ia akan menikmati berbagai kebaikan dan kebahagiaan di akherat.

Cerita itu mungkin jawaban dari Allah swt kepada saya atas rasa sakitnya ibu saya. Ia wanita baik tetapi mungkin ia pernah berbuat maksiat dan belum sempat bertaubat. Ia diberi rasa sakit oleh Allah swt sebelum meninggalkan dunia. Dan setelah itu, berbagai kenikmatan dan kebahagiaan akan didapatkan oleh ibu saya.

Baca Juga  Senyum 227

Keyakinan saya semakin kuat ketika sebelum terbang dari Istambul ke Jakarta, saya dikirimi foto meninggalnya ibu saya. Ia tersenyum seolah sedang bertemu dengan kekasihnya. Seolah ia sedang merasakan kenikmatan dan kebahagiaan tiada tara. Semoga. Wallahu’alam

Cibubur, menunggu RUPS Kubik Leadership

02 Februari 2021

Jamil Azzaini

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer