Setiap hari saya melewati perempatan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Malabar, Bandung. Rute itu merupakan rute harian, dimana saya biasa mengantar anak sekolah (di SMP), mengantar makanan untuk berjualan di kantin Infomedia, maupun berangkat ke tempat kerja di daerah Jalan Laswi.
Pemandangannya jalan yang saya lalui hampir sama, standar perempatan di kota-kota besar: ada angkot ngetem, penjual rokok dan makanan, penjual koran dan calo angkot. Namun ada satu hal yang berbeda di perempatan tersebut. Penjual koran yang beroperasi di lampu merah adalah seorang nenek. Ditilik dari usianya saya memperkirakan kurang lebih 65 hingga 70 tahun. Dengan langkah tertatih dia berjalan menjajakan korannya diantara mobil dan motor yang sedang menunggu lampu hijau menyala.
Beliau tampak tegar, tidak kelihatan mengeluh, dan terus berjualan hingga pukul 9 atau 10 pagi. Melihat hal ini saya langsung berpikir betapa nenek ini masih punya etos kerja dan mental hebat. Mengapa hebat? Beliau pantang merendahkan dirinya dengan cara mengemis seperti yang lain.
Saya saksikan di sekitar situ, banyak pengemis yang sebenarnya masih muda dan sehat. Namun sebagian besar dari mereka malas bekerja akibat keenakan mengemis. Konon, pendapatan pengemis bisa mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu per hari.
Pantas saja ketika Walikota Bandung Ridwan Kamil menawarkan pekerjaan kepada para pengemis, mereka tidak mau. Bahkan, yang saya baca di koran, mereka minta gaji 10 juta baru mau bekerja. Masya Allah! itu menunjukan pendapatan mereka selama ini cukup besar dari mengemis sehingga akhirnya mental mereka menjadi mental pengemis, yang hanya mau meminta tanpa bercapek-capek bekerja.
Kembali ke nenek penjual koran tadi, jika saya renungkan penghasilannya setiap hari dari berjualan koran bisa saja lebih kecil dari para pengemis (apalagi koruptor!). Tapi, insyaAllah, pendapatan dari berjualan tersebut jauh lebih barokah dari yang didapat para pengemis dari menadahkan tangan, meminta-minta –apalagi jika dibandingkan dengan para koruptor yang kerjanya menghabiskan uang rakyat.
Kegigihan nenek penjual koran itu menjadi semacam vitamin jiwa yang menambah semangat saya untuk menjemput rezeki yang halal. Saya akui terkadang semangat saya menurun, apalagi bila tengah menghadapi berbagai macam persoalan hidup. Semangat saya juga bisa drop, ketika kondisi badan menurun akibat sisa penyakit yang pernah saya derita.
Dalam kondisi demikian, merenungkan dan melihat realita di sekeliling kita sering menjadi obatnya, menjadi energi untuk men-charge “batere” kita. Demikian pula halnya dengan membaca berbagai bahan bacaan yang bermanfaat –seperti artikel yang setiap hari ditulis Mas Jamil, sangat menambah energi kita. Ibaratnya itu seperti “power bank” yang siap mencharge batere kita pada saat energinya sudah mulai menurun.
Tulisan dikirim oleh Eko Wardhana, Bandung.
5 comments On Semangat Kerja Seorang Nenek
Teringat neneku..
Terus menulis dan mengambil pelajaran kang. i love u
Terima kasih , mhn doanya ya mas , hatur nuhun , salam dari bandung
SUBHANALLAH…ALHAMDULILLAH….
Hal serupa pernah saya alami. Ketika saya bantu nenek jualan sayur dipasar tradisional. Saya perhatikan sekeliling pasar. Ternyata sekitar 80 % dari pedagang adalah kaum ibu yang sebagian sudah masuk kategori nenek. Agak geli juga ketika saya perhatikan ada beberapa pemuda silih berganti menengadahkan tangan ke nenek -pedagang di pasar- minta recehan. Itulah pengamen. Keberadaannya tak lepas dari sistem pendidikan kita.