Waktu bergerak maju. Begitu juga kedewasaan kita. Ada yang kita gemari saat anak-anak, tapi tidak lagi ketika remaja, apalagi dewasa. Pemahaman kita tentang teks atau tulisan pun mengalami perkembangan. Bagi saya menarik untuk mengamati perkembangan ini bahkan hanya dalam satu aspek: apa yang sukai tentang kutipan atau quote.
Ada kutipan atau quote atau kata-kata mutiara yang sangat saya sukai pada saat di SMA. Kutipan ini dari seorang penyair Belgia : Guido Gezelle (1830 – 1899)
Hidup bagaikan bendera perang yang terus dibawa maju di hari cerah maupun susah. Ia menjadi kotor..robek..bahkan hampir terjatuh ke tangan lawan. Tapi ia tidak ditinggalkan.. Dengan gagah berani ia dipertahankan.. Hidup memang bukan suatu kedamaian tapi bukan juga berarti merengek minta perdamaian.
Hidup adalah bendera perang yang harus terus dibawa maju…. Sampai ke tangan Tuhan
Saat SMA itu saya begitu menyukai kata-kata ini. Ada kesan heroik dalam kalimat ini. Meski tidak pernah ikut perang (jangankan perang, ikut tawuran pun tak pernah) kalimat ini mewakili sebuah semangat juang dalam hidup.
Guido Gezelle, sebagai orang yang menghasilkan kalimat ini, bukan tentara. Dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan militer. Dia seorang penyair dari Belgia. Dia seorang pastur. Karena itu meski seakan begitu heroik, kalimat ini juga mengandung unsur spiritualitas: bendera harus terus dibawa maju sampai ke tangan Tuhan.
Saking sukanya dengan kalimat ini, saya menulisnya di sebuah kertas, membingkainya dan menggantungkannya di kamar saya
Kemudian sampailah ke masa mahasiswa. Di sebuah fakultas ilmu sosial. Berbagai bacaan sosiologi, politik, bahkan sesekali filsafat menjadi menu sehari-hari. di saat seperti itulah saya melihat sebuah kalimat yang membuat saya sangat terkesan.
Life is the art of drawing sufficient conclusions from insufficient premises. (terjemahan bebasnya: Hidup itu seni mengambil kesimpulan-kesimpulan yang memadai dari berbagai premis yang tidak memadai.)
Itu kata-kata dari Samuel Butler. Kalimat ini membuat saya tercenung. Kalimat ini seperti dikirimkan entah darimana dan seakan-akan sengaja dikirimkan pada saya. Saya jatuh cinta pada kalimat ini. Saya seakan-akan selama ini sedang mencari-cari kalimat yang paling pas dan tiba-tiba ketemu kalimat itu.
Saya tidak tahu dalam konteks apa Samuel Butler menulis itu. Tapi saya langsung menerapkan dalam konteks pengalaman hidup saya. Begini, ambil contoh: saya tidak pernah bertemu dengan satu guru pun yang saya kagumi. Dari SD , SMP, SMA saya merasa semua guru hanya mengajarkan apa yang harus diajarkan berdasarkan kurikulum.
Berbagai fakta pengalaman pribadi ini, ditambah dengan pengalaman orang lain, mengarah pada sebuah premis: tidak ada satu guru pun yang layak dikagumi. Premis ini tidak memadai karena saya tidak mungkin meneliti semua guru dan itu membuat saya ”membenci” semua guru. Saya cuma tahu sebagian. Ibaratnya saya sedang menyusun sebuah puzzle, tidak semua potongan puzzle itu saya miliki. Tapi, puzzle itu tetap harus disusun.
Saya tetap harus menghasilkan kesimpulan yang memadai. Kesimpulan yang diambil itu juga harus mempunyai pengaruh positif untuk melakukan tindakan yang positif. Maka kesimpulan yang saya ambil: berbagai fakta apapun mengenai tidak adanya guru yang layak dikagumi, harus mendorong saya menciptakan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak Indonesia. Kesimpulan itu memadai, setidaknya buat saya, untuk memacu saya terus belajar untuk memberi sumbangan yang berarti buat pendidikan Indonesia.
Dalam hal lain, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang selalu mengajarkan konflik dan pertengkaran cenderung menjadi pemarah dan mudah tersinggung. Anak-anak ini disodori premis yang tidak memadai bahwa interaksi antar manusia itu harus diwarnai dengan kebencian dan permusuhan. Dan kemudian anak-anak ini –sayangnya– gagal mengambil kesimpulan yang memadai.
Dia ikut hanyut dalam premis itu sehingga kesimpulannya adalah untuk terus hidup dia harus terus ikut dalam arus kebencian dan permusuhan itu. Kalau saja dia mengambil kesimpulan ”ada banyak kejadian jahat dalam hidup manusia, dan saya diberi Tuhan kesempatan untuk mengalami kejadian-kejadian buruk itu agar saya bisa mengubah semua itu menjadi lebih baik” niscasa dia akan lebih bisa menjalani peran sebagai manusia yang utuh dan pengasih.
Di lingkungan sekitar kita itu ada begitu banyak fakta. Ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan. Informasi begitu mudah tersedia di internet. Tapi semua itu tetap merupakan premis yang tidak memadai. Anda bisa dengan mudah mengetik ”kejahatan di indonesia” di Google dalam hitungan tak sampai 1detik keluar 11.800.000 hasil.
Lalu, apakah dengan begitu otomatis kita menghasilkan kesimpulan bahwa sudah tidak ada harapan lagi untuk menciptakan kehidupan yang baik di Indonesia ? sekali lagi, kesimpulan anda benar atau tidak bukan persoalan anda didukung oleh fakta-fakta yang kuat atau tidak tapi apakah itu membuat anda mampu bergerak atau menggerakan orang lain untuk menuju situasi yang lebih baik atau tidak.
Sebagian besar penguasaha yang sukses selalu mampu mengambil kesimpulan yang memadai atas berbagai kegagalan yang mereka alami. Begitu beratnya kegagalan itu sehingga kalau orang biasa mungkin akan mengambil kesimpulan bahwa “semua kegagalan itu adalah tanda saya harus berhenti menjadi pengusaha” tapi pengusaha sukses itu justru mengambil kesimpulan, “saya berada di sebuah jurang dalam jalan menuju ke keberhasilan, jadi apapun yang terjadi saya akan terus maju.”
Nah, apakah kita sudah mengambil kesimpulan yang memadai untuk hidup kita ?
Aris Ananda
1 comments On Sejuta Ide
kereen, semoga ini menjadi motivasi saya untuk terus berkarya