Repotnya Untuk Bisa Tenang

Share this

Ketenangan itu mahal. Sebagian kita harus “menabung” waktu 30-35 tahun untuk sampai kala transaksi: masuknya masa pensiun—kesempatan. Resolusi untuk mengisi hari dengan lebih banyak menenangkan diri.

Itu baru bicara betapa panjang penantian untuk punya kesempatan di mana ketenangan jadi asa mengisi umur eksis yang tersisa.

Setelah mungkin sejak masuk usia 50 hasil medical check up telah mewartakan berbagai tanda “positif” dan angka-angka tak wajar,  melebihi ambang, dan soal makan minum mulai banyak berpantang. “Ia korbankan kesehatannya demi uang lalu ia korbankan uangnya demi kesehatannya, manusia memang membingungkan”. Begitu alir bolak-balik hidup manusia yang Dalai Lama gambarkan.

Setelah tidak ada topik yang sengaja dirawat kehangatannya di usia itu selain soal gula darah, kolesterol, syaraf kecetit, prostat, suplement pemicu libido, ejakulasi dini, pengencang dada, bakar lemak dan lingkar pinggang yang glembyer sebagai obrolan utama yang mengisi reunain, arisan keluarga, pengajian atau kebaktian. Obrolan yang melulu “berbau” tanah.

Atau…

Setelah batin menggedor-gedor setiap saat, mengusik waktu tidur; menagih utang bak debt collector: utang emosional kepada keluarga. Tak bisa dielakan, kesibukan bertahan hidup atau benar-benar kekayaan jadi berlimpah dari pekerjaanya; menyisakan penyesalan.

“Hampir setengah dari responden survei Boston Private mengatakan hal nomor 1 yang ingin mereka lakukan secara berbeda adalah dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga. Di sini kita melihat interaksi emosional penyesalan, rasa bersalah dan kompensasi”.

Kanyataannya, anak-anak di rumah sudah sulit dirangkul atau dipeluk-peluk sambil ngobrol, berbincang soal sekolah, mata kuliah, cita dan minat hidupnya; anak-anak sendiri sudah sibuk dengan hidupnya, juga sudah punya tempat curhat lian yang bisa sambil dirangkul dan dipeluk-peluk. Sebuah permulaan dengan akhir yang tak tentu: datangnya rasa rumah yang dingin, sepi, tak ada kehangatan, mirip keadaan tenang tapi bukan. Itu kemurungan yang tebal akibat rasa kuasa kepada anak-anak yang mulai dibaikan.

Baca Juga  "Ruh" Leadership (2)

 Atau…

Setelah hubungan dengan istri atau suami menyisakan banyak yang dipulihkan karena juga tak mungkin diakhiri. Awet rajet kata urang Sunda. Hubungan yang terawat ketidak rukunannya.

Dalam ini semua, ketenangan baru mulai dicari cara, dirancang pola untuk dibangun bersama: mencoba hidup minimalis problem ( kalau bisa ). Simple life simple problem katanya. Ada yang dengan jalan pulang ke desa atau mengadopsi laku hidup orang desa: istri mengisi hari dengan merawat kebun dan aneke bunga; suami beternak uang dalam ragam investasi; sambil duduk manis mendulang cuan bersila meditasi atau tafakur di mihrab merapal mantra.

Tentu ongkos kesempatan diatas belumlah termasuk uang yang  dikeluarkan untuk perjalanan wisata ditiap akhir pekan maupun musim liburan. Belum diakumulasi untuk pembangun relif dan kolam di dalam rumah agar bisa tidur sambil mendengar gemercik air jatuh. Belum juga dijumlah total untuk sepeda dan olah raga glamor lainnya. Tambahkan pula biaya gabung dengan klub atau padepokan olah jiwa dan bayaran ke psikiater plus tebus resep obatnya; sobat misquen tentu tidak mungkin mampu. Tidak perlu juga jadi ngilu-ngilu, keules, seperti ponakan saya.

Satu kali ia menginap untuk beberapa hari di rumah saya: komplek perumahan para sultan. “Kos-kost-san saya dilockdown, Mas” begitu alasannya saat permisi kepada saya. Sudah 3 tahun ia meninggalkan Klaten kampungnya mengadu nasib sebagai wiraniaga otomotif.

Pagi di hari pertama, “Wuenak ya jadi orang kayak, pagi-pagi bisa jalan-jalan santai olah raga, sepedaan sambil bawa anjing peliharaan” begitu ia ngedumel, di teras sambil nongkrong menyaksikan aktivitas orang-orang di taman depan rumah .

“Alaaa, Dek, mau jalan santai aja kok repot nunggu kaya, mau olah raga yo monggo langsung gerakin badannya, gak perlu jadi orang kayak dulu”. Ketus samber Ibu saya, yang waktu itu ada di dekatnya, menyapu teras. Seperti pukulan hook  yang langsung bikin lawannya KO.

 Punya uang memang bisa berarti punya besar kemungkinan: ketenangan pikiran, terutama. Masih dikutip dari situs cnbcindonesia.com yang mengutip penelitian Boston Private, “Siapa bilang uang tak bisa beli kebahagiaan? Nyatanya uang dapat memberi banyak yang diinginkan, termasuk ketenangan pikiran, perasaan sukses dan kebebasan hidup sesuai yang diinginkan.

“Penilitian berjudul ‘The Way of Wealth’ ini mensurvei 300 responden yang memiliki kekayaan antara US$1 juta sampai US$20 juta, yang bertujuan untuk menentukan bagaimana kekayaan mempengaruhi kualitas hidup.

Saat ditanya apa arti kekayaan, 54% responden mengatakan jawabannya adalah kebahagiaan. Sebanyak 65% responden setuju uang memberikan hal yang lebih penting dari kebahagian, yaitu ketenangan pikiran”(https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle).

Sridahr Vembu mungkin satu dari banyak orang berduit yang mengambil “berkah” kemungkinan dari efek banyak uang.

Baca Juga  Monday Knowledge: I am Leader, I am Vulnerable

Orang yang kekayaannya di taksir majalah Forbes senilai 36 triliun juga ngeli mudik ke desa yang jumlah penduduknya kurang dari 2.000 orang di Selatan India, setelah 3 dekade mengurus Sillicon Valley, sebuah perusahaan penyedia layanan cload atau antar jaringan komputer yang mempekerjakan  9.500 pekerja.

Ia tidak dan belum pensiun, tapi ia pilih untuk tinggal di desa dan menghayati cara kehidupan sakinah orang pedesaan. Ia tinggal di rumah kebun dengan dua kamar dan tanpa dilengkapi pendingin ruangan.

Sridhar bisa Ngeloyor hanya mengenakan baju dan dohti (sarung) ke warung kopi dengan menumpang becak atau motor listrik: ber-muwajaha dan silaturahmi dengan penduduk desa. “Saya sangat menikmati hidup di sini. Saya banyak mengenal orang di desa ini dan desa-desa sekitarnya”. Kata Sidhar (https://www.bbc.com/indonesia/majalah-56769224).

***

Absennya ketenangan batin sebagai sikap hidup dapat berarti permulaan keruyaman segala.  Ia menentukan bagaimana hidup mau dijalani hari ini. Dan hari ini adalah pondasi bangunan rumah kehidupan kita kelak.

Sulit dibayangkan, ketika hidup yang kita kenal ini adalah ketidakpastian, perubahan terus menerus, dihadapi dengan batin yang cemas. Kalau ketenangan batin bisa melihat persoalan bukanlah soal; maka kecemasan melihat liang lahat dalam tiap persoalan.

Saya sendiri melihat ketenangan batin bukanlah sebagai sesuatu yang mengisi atau menggantikan datang, ketika kecemasan dan segala gangguan mental lainnya berakhir. Misalnya muncul semacam rasa lega, plong, damai spoi-spoi, sepi tanpa bising bebunyian dan kekributan-keributan yang memekak pendengaran. Itu tidak lebih sebatas sensasi. Bukan ketenangan batin yang saya maksud.

Sensasi sangat bergantung dengan pemicunya: suasana luar yang dapat dicerap dan dicandra. Berakahir pemicu, berakhir pula sensasinya.

Ketenangan seperti inilah yang dapat dibeli dengan uang . Ketenangan semacam ini memang mutlak peluangnya milik para sultan.

Baca Juga  Waktu Adalah Modal Kita

Bukan berarti ketenangan semacam ini kecil arti, tidak. Frank Mihalic, menulis daya positif dan arti pentingnya bagi kelangsungan kita.

“Tanda “TENANG” di rumah sakit melindungi penyembuhan tubuh dan syaraf. “Tenang”! di dalam stasion radio menjaga lalu lintas suara yang rumit di angkasa yang tak terbatas. Di perpustakaan, “Tenang”! membisikan persatuan yang mendalam antara pikiran dengan pikiran, mekarnya perlahan-lahan pemikiran.

Jadi, “tenang” berbicara tentang penyembuhan, pesan-pesan dari angkasa raya, dan tentang kebijaksanaan yang memurnikan” ( 1500 Cerita Bermakna)

Besarnya effort kita menggapai-gapai ketenangan cukup mengingatkan tentang apa yang ujung-ujungnya kita cari setelah segala pencapaian kita raih.

Kita memang butuh ketenangan yang punya arti sebagai obat penyembuh, pesan hikmah dari langit angkasa dan kearifaan yang menjernihkan keadaan, mencari dan mengenali.

Mungkin perlu juga diduga adanya ketenangan batin lian yang ajeg, mandiri tidak bergantung stimulasi karena bukan serupa sensasi, tak tersentuh dan bukan kuasa manusia untuk kehadirannya, kecuali akar yang selalu menyebabkan batin berada dalam medan konflik tanggal dan tak lagi punya kehidupan. Hidup dalam ketiadaan konflik. Kata seorang sufi, “’Ala kulli hal, alhamdulillah”, untuk segalanya Puji Tuhan.

Mungkinkah? Entah. Tapi saya menyelesaikan separuh tulisan ini di ruang tunggu UGD Rumah sakit di bilangan Taman Mini, menemani korban yang masih diobservasi akibat tertabrak mobil ayah saya.

Kang Abi

-Peminat Kehidupan

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
5 + 3 = ?
Reload

Site Footer