Pintar Merasa, Bukan Merasa Pintar

Share this

Saya dan tim saya berkesempatan menyeleksi alumni-alumni terbaik dari perguruan tinggi terbaik baik dari dalam maupun luar negeri untuk diterima sebagai karyawan di perusahaan ternama. Mereka sangat cerdas. Saat bekerja individu mereka jempolan dengan hasil yang jauh melebihi harapan. Namun saat bekerja bersama orang lain mereka kedodoran. Mereka sangat egois, bahkan menimbulkan konflik yang sangat besar. Apa penyebabnya?

Ternyata, ini proses kehidupan yang panjang, secara umum, ini adalah hasil pendidikan dari rumahnya atau orang tuanya. Para orang tua seringkali berlomba-lomba untuk menjadikan anaknya sebagai seorang anak yang pintar. Mendapatkan peringkat teratas di kelas, mendapatkan sekolah unggulan, menguasai keterampilan a, b, c sampai z. Orang tua percaya, keberhasilan akademik, berbanding lurus dengan kesuksesan seseorang saat sudah dewasa. Setelah itu berkuliah di kampus impian. Lalu keterima di kantor bergengsi. Nah, saat itulah orang tua merasa, sukses sudah tugasnya selama puluhan tahun. Mempersiapkan anaknya menjadi orang dewasa yang sukses. Katanya, sukses anak adalah kesuksesan orang tuanya juga.

Namun, siapa sangka, saat sudah dewasa ternyata anaknya merasa kesulitan berhubungan dengan orang lain, tidak “peka” terhadap lingkungan sekitarnya, bahkan lebih enjoy tinggal sendiri dibanding dengan orang tuanya. Di tempat kerja, boro-boro berkolaborasi. Hidup sudah seperti di pacuan kuda, pilihannya menang atau kalah. Terus berkompetisi. Karena, dengan semua stimulasi sejak kecil, obsesi orang tuanya supaya ia bisa selalu terdepan. Ia justru tumbuh menjadi pribadi yang merasa lebih pintar dari temannya. Ia bahkan tidak segan kalau harus menikam dari belakang, demi naik ke posisi lebih tinggi.

Ini yang terjadi, orang tua lupa atau kurang mengajarkan anaknya untuk mau “merasa”. Mungkin kelak dia akan menjadi seseorang yang sukses karirnya. Tapi hatinya tumpul untuk merasakan apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Sudah banyak contohnya, sebut saja Elon Musk yang dengan kepintaran dan kerja kerasnya, ia mampu sesukses sekarang. Orang paling inovatif abad ini di dunia katanya.

Baca Juga  NeuroLeadership: Otak Sehat itu Membuat Hidup Tenang

Tapi, tentu Anda pernah mendengar atau membaca, kebijakan-kebijakan yang ia buat seringkali dinilai tidak memikirkan perasaan orang lain. Bahkan di kehidupan personal, Elon mengakui sulit sekali untuk berhubungan dengan orang lain. Dia tidak punya banyak teman dekat. Dia sudah 3 kali menikah dan beberapa diantaranya retak. Dan salah satu anaknya, saat ini ingin memutus hubungan keluarga secara legal dengannya.

Ada lagi Albert Einstein. Siapa yang tidak kenal? Kepintarannya tentu tidak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai seorang fisikawan dan penemu banyak teori-teori bagaimana alam ini bekerja. Tapi yang mungkin orang belum tahu, sama seperti Elon, Einstein sering digambarkan sebagai seseorang yang dingin, arogan, dan suka meremehkan ide orang lain. Ini membuat kehidupan personalnya tidak sesukses karirnya. Ia juga dinilai tidak sensitif, contohnya saat Mileva yang saat itu masih jadi pacar diketahui hamil. Ia tidak ragu, untuk menyarankan Mileva segera menggugurkan kandungannya. Tentu, akhirnya ditolak oleh Mileva.

Nah, menariknya di sisi lain saya ingin mengajak Anda berkenalan dengan seseorang yang “keistimewaannya”, mampu menggerakkan banyak orang, untuk mau berkontribusi melawan perubahan lingkungan. Kalau Anda pernah dengar, ia adalah Greta Thunberg gadis belia yang saat ini berusia 20an tahun asal Swedia. Sejak usia 12 tahun, Greta di diagnosa memiliki Asperger Syndrome dan Autistic Spectrum Disorder.

Kelainan bawaan ini membuat Greta tidak sensitif, kurang mampu berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain. Dan juga ada kecenderungan ia senang berbicara tentang dirinya sendiri. Namun, Greta justru melihat perbedaan ini sebagai sesuatu yang special, istimewa. Berkat kedua diagnosa tersebut, ia justru bisa punya fokus yang tinggi dan berpikir out of the box. Nah, kedua modal ini lah yang Greta jadikan sebagai senjata untuk mengikuti ketertarikannya, yakni perubahan iklim.

Baca Juga  Geser Mindset Agar Tidak Sunset

Saat usianya yang ke-15, Greta berani maju berbicara di depan Parlemen Swedia. Ia menyuarakan aksi protes, terhadap isu perubahan iklim. Nah aksi protes-nya ini ternyata menarik perhatian dunia. Bagaimana menurut Anda? Dengan diagnosa yang terberi, dia katanya kurang mampu berkomunikasi. Tapi nyatanya, dia justru terkenal dengan kata-kata yang mampu menggerakkan. Ia kerap diundang dalam forum-forum internasional, seperti pada forum PBB. Greta pun berulang kali dinominasikan untuk mendapat Piagam Kedamaian atau Noble Awards.

Seseorang yang Asperger, memiliki kecenderungan apatis terhadap apa yang terjadi di luar dirinya. Nyatanya, Greta justru mau maju menjadi seorang aktivis lingkungan. Melalui kata-katanya yang powerful, ia menyuarakan kegelisahannya tentang perubahan lingkungan dan dampaknya. Melalui aksinya, ia mampu mengajak orang untuk melek, bahwa perubahan iklim ini sudah terjadi. Melalui kepeduliannya, ia mampu menggerakkan orang untuk mau mengambil langkah kecil. Setidaknya, ada kontribusi yang dilakukan untuk mau memperbaiki lingkungan demi generasi masa depan.

Greta Thunberg, ialah cerminan bahwa kita masih tetap bisa pintar merasa, dengan bagaimanapun kondisi kita. Pintar merasa artinya kita mampu sensitif dengan apa yang sedang terjadi di lingkungan. Terhadap orang tua, pasangan, rekan kerja, bahkan alam. Dan bukan hanya sampai disana. Tapi ada aksi konkret yang dilakukan. Secara spiritual pun kita sangat dianjurkan untuk peduli, care dengan orang-orang di sekitar kita. Bahkan dijanjikan dengan pahala berlipat saat kita peduli dengan sesama.

Kalau selama ini Anda masih berpikir kesuksesan di sekolah akan menentukan karir kedepannya. Anda tidak sepenuhnya tepat. Karena, riset terbaru dalam The Journal of Personality and Social Psychology justru menyebutkan, orang yang saat dewasa memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, cenderung lebih sukses di segala bidang dibandingan dengan mereka yang nilai sekolahnya lebih tinggi. Suksesnya bukan hanya di karir, tapi juga dalam keluarga dan lingkungan sosial. Ia akan cenderung lebih bahagia dan memiliki hubungan yang memuaskan.

Baca Juga  Melesatkan Karir

Karena sejatinya, mendidik bukan hanya berfokus pada angka semata, tetapi justru pada pembentukan karakter dan moral yang kokoh. Seorang anak yang diajarkan untuk pintar merasa, kelak akan tumbuh lebih tanggap dan mampu memberikan respon terbaiknya. Ingat ya, kita perlu mengajarkan generasi muda dengan Pintar merasa, bukan merasa pintar. Karena pintar merasa inilah yang justeru mengantarkannya kepada kesuksesan dan kebahagiaan yang seimbang. Sekali lagi ingat, pintar merasa, bukan meras pintar.

Jamil Azzaini
Inspirator SuksesMulia

3 comments On Pintar Merasa, Bukan Merasa Pintar

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
9 - 2 = ?
Reload

Site Footer