Telah banyak program-program pemberdayaan masyarakat berbasis dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dijalankan oleh berbagai perusahaan.
Program yang dijalankan biasanya bersifat charity sehingga tidak jarang program-program yang dijalankan tidak bisa berjalan secara berkelanjutan bahkan cenderung menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan perusahaan karena masyarakat berpikir kalaupun dana bantuan ini dihabiskan nanti akan ada lagi bantuan berikutnya dari perusahaan.
Sebagai contoh ada sebuah perusahaan yang menjalankan program CSR berupa pemberdayaan peternak sapi untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan. Dalam pelaksanaannya perusahaan memfasilitasi para peternak berupa kandang dan ternak sapi kepada para pemetik manfaat program dan tidak lama setelah beberapa waktu berjalan ternyata ternak sapi yang telah diberikan bukannya dipelihara dengan baik malah oleh masyarakat dijual untuk keperluan yang bersifat konsumtif.
Sedangkan kandangnya mereka bongkar karena bahan kandang seperti kayu-kayu, mereka pergunakan untuk memperbaiki bangunan rumah yang mereka tinggali sehingga program yang dijalankan sama sekali tidak ada lagi wujudnya, hilang tak berbekas . Apakah seperti ini yang diharapkan, tentu tidak bukan?
Fenomena semacam ini kalau terus dibiarkan akan menjadi bom waktu yang pada gilirannya akan merugikan semua pihak. Dari sisi perusahaan ketika program yang dijalankan tidak lagi berbekas maka akan sangat kesulitan dalam pembuktiaan pada saat adanya audit tentang program-program CSR yang telah dijalankan oleh perusahaan.
Bagi masyarakat, meraka akan sangat ketergantungan dengan bantuan yang diberikan oleh perusahaan sehingga bisa dibayangkan kalau suatu saat perusahaan tidak lagi memberikan bantuan kepada masyarakat. Mereka akan sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan akan terus menuntut bantuan kepada perusahaan bahkan tidak jarang ketika tuntutan-tuntutan tersebut tidak kunjung dipenuhi oleh perusahaan.
Mereka akan mengganggu aktivitas operasi perusahaan dengan berbagai kegiatan seperti memboikot jalan, merusak alat, dan demo-demo. Tentu hal ini sangat menggangu dan merugikan perusahaan. Apakah ini yang kita harapkan, tentu juga tidak bukan?.
Melihat fenomena seperti itu, pihak perusahaan bisa saja mengatakan bahwa ini adalah kesalahan masyarakat, karena dari pihak perusahaan merasa sudah seringkali memberikan bantuan kepada masyarakat dan masyarakat tidak bisa menjaga dan memanfaatkan bantuan dengan baik.
Begitupun dengan masyarakat, mereka bisa saja mengatakan bahwa ini adalah kesalahan perusahaan karena bagaimana mungkin mereka bisa menjaga dan memanfaatkan bantuan kalau setelah diberikan bantuan lantas pihak perusahaan juga meninggalkan mereka. Bukankah masyarakat juga membutuhkan pembinaan.
Dari contoh kejadian tersebut, tentunya kita dapat menarik benang merahnya bahwa ada satu peran yang selama ini tidak dijalankan perusahaan dalam pelaksanaan program-program CSR, khususnya program-program pemberdayaan masyarakat yaitu peran pendampingan. Kita sepakat bahwa dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat perlu adanya pendampingan agar program-program yang dijalankan dapat tepat sasaran, berdayaguna dan berjalan secara berkelanjutan.
Berbicara pendampingan masyarakat, terkadang pihak perusahaan berkilah,” kamikan bukan ahlinya dibidang itu”. Itu tentunya bukan alasan yang tepat juga untuk meninggalkan peran pendampingan dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat berbasis dana CSR karena faktanya saat ini telah banyak lembaga-lembaga konsultan CSR dan Community Development yang siap bersynergi dengan perusahaan-perusahaan untuk menjalankan program-program pemberdayaan masyarakat berbasis dana CSR, salah satunya adalah Lembaga Fasilitator Indonesia.
Salam Pemberdayaan,
Abdul Mugni