Dulu, saya termasuk orang yang beranggapan bahwa hidup miskin tidaklah mengapa yang penting bahagia dan mati masuk surga. Hidup tidak perlu “ngoyo” mengejar kesuksesan yang semakin tinggi. Dengan paradigma seperti ini, bisnis yang saya jalani tumbuh lamban karena prinsipnya “yang penting bisa menggaji karyawan.”
Sampai suatu ketika, 11 bisnis saya ambruk dan meninggalkan banyak masalah. Beberapa saat setelah bisnis saya bangkrut, saya temukan tumpukan proposal permohonan bantuan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan kepada saya. Secara acak saya baca proposal itu, banyak yang menarik dan sangat layak dibantu. Namun, saat itu keadaan keuangan saya sedang kacau sehingga saya tidak bisa membantu satu rupiah pun.
Dalam suasana batin yang tidak menentu, saya menenangkan diri dengan sering berucap “tidak apa-apa miskin yang penting bahagia dan mati masuk surga.” Ketika saya mengucapkan kata-kata itu, ada sahabat saya yang nyeletuk “yakin amat kamu masuk surga, memang seberapa banyak kebaikan yang sudah kamu lakukan? Kalau toh kamu sudah banyak berbuat baik, apakah kamu yakin kebaikan kamu itu diterima sama Allah swt?”
Mendapat komentar seperti itu, gejolak hati semakin membuncah, galau dan membuat saya sulit tidur. Saya melakukan banyak perenungan, diskusi dan kembali mencari jati diri yang baru. Melalui pencarian yang cukup panjang, akhirnya saya menemukan kesadaran baru yaitu “bangkrutnya bisnis saya adalah pemicu paradigma baru dalam hidup saya. Ternyata, hidup sukses itu penting agar kita mampu memberi banyak manfaat kepada orang lain.”
Kemiskinan membuat kita memiliki banyak keterbatasan untuk membantu orang lain. Sebaliknya, keberlimpahan membuat kita bisa lebih banyak melakukan hal-hal yang positif tanpa harus tergantung dengan bantuan orang lain. Keberlimpahan juga bisa lebih punya pengaruh untuk mengajak orang lain dalam program-program kebaikan. Sejak saat itulah, saya memilih hidup SuksesMulia. Kesuksesan perlu terus kita tingkatkan, disaat yang bersamaan kemuliaan (memberi manfaat) terus kita perluas.
Tentu, Anda tidak perlu menunggu bangkrut seperti saya untuk memiliki paradigma baru yang lebih mencerahkan dan menggerakkan. Anda bisa melakukan perenungan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif kepada diri sendiri. Cara lainnya, Anda bisa mencari coach yang ahli mendengar sekaligus ahli mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas yang mencerahkan.
Pemicu yang baik adalah pemicu yang kita ciptakan, bukan pemicu “kiriman” yang terkadang datangnya sangat meyakitkan. Mari ciptakan pemicu dengan sering melakukan perenungan dan mengajukan pertanyaan, baik melalui diri sendiri maupun melalui coach yang memang sudah berpengalaman. Mau?
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
CEO Kubik Group
Founder Akademi Trainer
Inspirator SuksesMulia
Ingin ngobrol dengan saya? FOLLOW saya di twitter: @jamilazzaini. Atau, LIKE saya di facebook
3 comments On Pemicu
Ternyata kita harus melihat dari sisi positif, setiap kejadian dan pendapat. Trims kek
Terus berusaha mencari sisi positifnya mas meski itu tidak mudah
NOTED : Pemicu yang baik adalah pemicu yang kita ciptakan, bukan pemicu “kiriman” yang terkadang datangnya sangat meyakitkan.
Semoga bisa cepat mendapatkan jatidiri yang baru, karena selama ini memang dalam “zona sangat nyaman”. trimakasih kek. 🙂