Di media sosial, baru-baru ini ramai tentang seorang artis yang merasa bangkrut padahal masih punya deposito 3 milyar, rumah, mobil alphard, BMW dan Honda Civic. Berita ini menyebar cepat dan menjadi diskusi di beberapa group WhatsApp yang saya punya. Dari diskusi itu, saya menangkap ada beberapa mitos yang keliru tentang harta. Dan menariknya, mereka yang punya mitos keliru tentang harta ternyata yang hidupnya paling sengsara (dari aspek ekonomi). Setidaknya terlihat dari seringnya meminta bantuan dan mengajukan pinjaman. Saat pinjaman jatuh tempo, lupa bayar dan tetap merasa tidak bersalah. Nyebelin khan?
Berangkat dari berbagai fakta yang saya temui di lapangan, saya ingin meluruskan beberapa mitos yang keliru tentang harta, ini menurut saya ya. Saya tidak melakukan riset resmi, tetapi pengamatan sejak puluhan tahun yang lalu.
Mitos Pertama, Harta tidak dibawa mati.
Ini mitos yang berbahaya, karena pada hakekatnya harta itu bisa dibawa mati. Caranya? Disumbangkan kepada anak yatim, orang miskin, orang yang memerlukan dan digunakan proyek-proyek kebaikan. Untuk itulah mengapa saya mendorong semua orang untuk semakin SuksesMulia. Salah satu ciri sukses, hartanya berlimpah. Tetapi itu tidak cukup, harta yang berlimpah itu digunakan untuk berbagi kebaikan (mulia). Semakin berlimpah harta yang kita miliki semakin besar kemuliaan yang bisa kita bagikan dan distribusikan.
Bukankah nabi sudah mengajarkan “ketika anak Adam meninggal putus seluruh amalnya, kecuali tiga. Salah satu diantaranya adalah harta yang disumbangkan yang memberi manfaat kepada banyak orang.” Harta yang kita sumbangkan untuk orang lain itu akan terus mengirimkan pahala kepada kita, meski kita sudah terbujur kaku di dalam bumi (mati). Kuburan kita menjadi lapang, kuburan kita menjadi terang, kuburan kita menjadi wangi. Nikmat bukan?
So, harta bisa dibawa mati selama tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi. Harta bisa dibawa mati bila diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ayo, ketimbang nyinyir mengatakan bahwa harta tidak dibawa mati, lebih baik sibuk berjuang menjadi orang yang Sukses sekaligus Mulia. Karena ternyata, harta bisa kita bawa mati. Mau?
Mitos Kedua, Orang kaya itu diperbudak harta
Mitos ini juga kurang tepat karena mitos ini hanya berlaku bagi mereka yang terlalu mencintai hartanya. Tetapi bagi orang-orang yang “kemelekatannya” terhadap harta tidak terlalu kuat. Dengan kata lain, harta itu tidak diletakkan dalam hatinya tetapi di tangannya atau bahkan di kakinya maka harta justeru menjadi “budaknya” dan sang pemilik harta tetap menjadi majikannya.
Maka tanamkan paradigma “Semakin saya kaya, saya semakin Spiritualis”. Pemilik Wardah, ibu Nurhayati Subakat, sedekah lebih dari Rp 40 milyar untuk penanganan Covid – 19. Belum lagi sumbangan dan zakat yang diberikan melalui berbagai lembaga sosial yang ada di Indonesia. Saya dapat bocoran dari beberapa petinggi pengelola dana sosial, bahwa mereka mendapat sumbangan rutin dan zakat dari pemilik usaha kosmetik ini. Jumlahnya? “Fantastic man”. Keren khan?
Mitos Ketiga, Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal.
Mitos ketiga ini, hanya melekat kepada orang-orang yang kurang kreatif dan malas. Sungguh, peluang di sekitar kita itu banyak sekali, terutama bila kita mau mencari, menangkap dan kemudian dijalankannya. Selalu ajukan pertanyaan dalam pikiran kita “Persoalan apa yang terjadi di masyarakat dan solusi apa yang bisa saya tawarkan kepada mereka? Manfaat apa yang bisa saya berikan kepada sekitar?” Kedua pertanyaan ini akan membuat kita kebanjiran peluang yang bisa dijadikan sumber penghasilan. Artinya, mencari yang halal itu mudah.
Kita tidak akan pernah merasa bangkrut saat harta yang kita miliki bisa kita bawa mati, menjadikan kita lebih spiritualis dan konsisten untuk selalu mencari yang halal. Meski kita tidak memiliki deposito milyaran kita tidak akan panik apalagi stress. Jangan sampai ada yang melamar menjadi sopir saya karena merasa bangkrut ya. Saat ini, saya tidak memerlukan sopir.
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership
Founder Akademi Trainer & Kampoong Hening