Saya mengawali artikel ini dengan sebuah pertanyaan. Jawab dengan jujur dari hati yang tulus. Jika anda seorang motivator hebat, karena apa orang lain memuji anda? Jika anda seorang trainer yang jam terbangnya padat, karyanya banyak, tarifnya besar, peserta seminarnya ribuan, apa yang membuat mereka memuji anda?
Bagi anda yang pengusaha dengan omzet miliaran bahkan triliunan rupiah, assetnya berlimpah, lah pokoknya sudah peringkat sejahtera dan makmur finansial, lalu ribuan orang bekerja di perusahaan anda sehingga dengannya mereka menafkahi keluarganya, apa yang membuat mereka takjub kepada anda?
Mungkin anda akan menjawab, karena saya mampu memberikan pekerjaan kepada banyak orang. atau karena saya mampu menginspirasi ribuan orang sehingga dengan prestasi itu saya layak dipuji.
Senang dipuji adalah fitrah karena bagian dari penampakan naluri manusia, namun manakala menisbatkan pujian itu sebagai akibat dari sebab prestasi kita, usaha kita, karya kita, maka inilah pujian yang harus kita waspadai.
Dalam sebuah kajian, Ibnu Attoillah as-Sakandari menuturkan dalam Alhikamnya bahwa teramat sayangnya Allah kepada kita, Allah pun memberikan dua bentuk perlindungan yang sering kita lupakan. Pertama, Allah melindungi kita dengan menutupi aib kita, sementara perlindungan kedua yaitu Allah melindungi kita dari sebab-sebab tertentu yang akan menjerumuskan kita pada perbuatan buruk.
Allah yang mengasihani kita meskipun beribu kemaksiatan kita lakukan. Allah yang akan setia kepada kita padahal sering kali kita menyekutukan-Nya. Salah satu contoh menyekutukan Allah dalam kajian tasawuf adalah manakala kita menisbatkan pujian orang lain kepada usaha atau prestasi kita.
Sementara perlindungan Allah yang menutupi sebab-sebab tertentu agar kita tidak jadi melakukan perbuatan buruk, biasanya terjadi pada orang-orang yang memiliki banyak amal kebaikan. Seperti banyak berdzikir, mengerjakan amalan wajib dan sunah, memberi manfaat kepada orang lain, positif thingking, memperbanyak energi positif dan amal kebaikan lainnya.
Nah, sekarang pertanyaannya bagaimana jika Allah mencabut perlindungan pertama. Artinya, Allah tidak lagi menutupi aib kita, Allah memperlihatkan kepada manusia tentang apa yang kita sendiri malu jika diketahui mereka. Apakah manusia akan memuji kita? Hei, apakah manusia akan memuji kita?
Sungguh terlalu sombong jika kita merasa pujian mereka sebagai akibat dari prestasi kita, padahal mereka memuji karena Allah menutupi aib kita semata, karena Allah menutupi aib kita semata.
Mungkin inilah maksud Kakak saya yang sekian tahun menulis nasihat singkat di binder saya “Andi, ulah bangga tina pujian jeung ulah benci tisagala hinaan”. Saya baru memahaminya, Terimakasih ya Allah atas titah-Mu melalui kakak saya.
Tulisan dikirim oleh Andi Badren
10 comments On Menisbatkan Pujian
Makasih atas nasehatnya..
Salam Sukses Mulia
maaf mungkin lebioj bijak klo bhs daerahnya diindonesiakan. tid smua bs mengerti. padahal di situ inti yg hrs dipetik hikmahnya…
Hehe, artinya jangan bangga dgn pujian dan jangan benci dengan hinaan
Terimakasih atas “tamparan”nya … 🙂
Salam SuksesMulia
Setuju kak pujian ibarat cekikan yg tidak terasa keleher kita yang siap membunuh jika kita salah menyikapinya.
Anak muda tapi tulisannya sudah bijaksana, kerON kang
Hehe, sekedar menyambung tutur Ibnu Attoillah as-sakandari yang ‘menampar’ saya kek 🙂
Terima kasih atas tausiahnya yang menampar rasa kesombongan kita. KerON tulisannya. Thanks.
Alhamdulillah, nasihat dan motivasi yang sangat ‘ sufistik’. Teruslah berkarya, inspirasi Indonesia dan selalu memasukkan kaidah dan hazanah Tasawuf dalam setiap tulisanmu. Salam sukses Mulia.
Sekiranya keburukan atau kesalahan itu berbau, niscaya tak akan ada orang yang mau duduk mendekat di samping saya. Sebuah renungan yang apik mas. Terima kasih untuk nasehatnya.