Mengenal Sumber Wabah Kehampaan

Share this

Suatu siang bersama sahabat yang sedang merasa terpuruk lungkrah.

“Sekarang mah udahlah, saya mau fokus aja sama diri sendiri, capek!”

Dan untuk segala yang tidak saya mengerti maknanya, saya punya komentar baku:

“O, bagus”.

Sungguh saya tidak tahu kebisingan macam apa yang tengah menyeret pikirannya sehingga ujuk-ujuk ia bicara seperti itu, tapi bahwa sesuatu sedang tak tertanggung pundak batinnya, jelas tidak bisa ia tutupi; air matanya deras dan ia perlu beberapa kali mengusapnya.

Bukan isaknya yang bikin saya banyak diam mendalam saat itu, melainkan “fokus pada diri sendiri” pernyataannya itu. Sebuah cermin seperti terbentang seisi ruang kamarnya yang memantulkan bayangan diri: entitas maya yang selalu dan tidak akan pernah absen untuk berfokus pada dirinya sendiri, gila perhatian, me first.

Kurang fokus bagaimana coba si diri pada dirinya sendiri:

Saling serobot di jalan raya, bukankah lantaran setiap diri merasa hanya ia yang boleh dan mesti tiba lebih cepat, lebih dulu, harus ia yang tepat waktu ke tempat yang hendak dituju.

Kurang fokus bagaimana coba si diri pada dirinya sendiri:

Di tempat layanan umum, si diri adalah ia yang tidak mau dianggap umum dan biasa. Pelayanan (meski) untuk umum, wajib punya pojok-pojok yang menyediakan keistimewaan untuknya, untuk itu ia akan cari relasi, koneksi, channel yang akan memberinya perhatian dan kekhususan layanan–red carpet.

Kurang fokus bagaimana coba si diri pada dirinya sendiri:

Si diri adalah ia yang di rumah ingin dianggap sebagai tulang punggung, pusat kehidupan, penentu, imam, berjasa besar dan punya hak menerima gratifikasi dari lelaki atau perempuan yang ia nikahi, pun dari anak-anaknya: sembah bakti.

Baca Juga  World Stroke Day

Kurang fokus bagaimana lagi si diri:

Munajatnya pada yang Maha pengasih, penyayang: “Ilahi, berikanlah, curahkanlah, limpahkanlah, tumpahkanlah dan keruniakanlah segala yang terbaik bagiku”. Tidak mungkin si diri memanjat: “Gusti, duhai Al-Abror yang tidak tercurah darinya kecuali cinta, bukan kebaikan bukan keburukan, untuk itu segala dariMu tidak ada keburukan tidak pula kebaikan.

Jadi, ketika si diri dikepruk kehidupan, lalu ia mau fokus pada dirinya sendiri dalam upaya mengatasi limbungnya, maka itulah kebenarannya–diri hanya bisa melakukan satu tindakan saja: mementingkan dirinya sendiri. Adapun bila nampak ia bermurah hati pada orang lain, itu masih dalam rangka untuk dirinya: menabung pahala, koleksi karma, kompensasi jiwa.

Kesepian

Fokus pada diri sendiri tentu membawa hasil lain bila ia digunakan pada dimensi dan konteks kebudayaan. Ada tenggat dan komitmen menyangkut kewajiban dan capaian-capaian yang telah melalui kesepakatan sosial. Fokus menjadi salah satu tuntutan dan kebutuhan yang mengantar tugas dan pekerjaan terselesaikan; para motivator malah memastikan: fokus adalah gerbang kesuksesan. Tapi tak dapat juga dibendung bahwa ada rembesan lain dari capaian di atas yang menggenangi ruang psikologi kita.

Fokus pada diri sendiri menyiratkan keputusan mengalienasi sejauh-jauhnya dari kehidupan. Suatu pengasingan dalam penjara yang jerujinya adalah diri-diri kecil. Alih-alih jadi penawar segala kecapekan batin, pengasingan diri (baca: fokus pada diri sendiri) membawanya pada kehampaan. Semakin fokus pada diri sendiri semakin diri menuju kesepian yang hebat, dan “penyakit kesepian” ini adalah “pembunuh” yang bertumbuh lebih cepat dari COVID-19 yang masih menghantui dunia sampai saat ini.

“Penyakit kesepian” dicatat Robert Holden dalam bukunya “Success Intellegence” :

“Teridentifikasi sebagai disebabkan oleh atau menghasilkan gejala-gejala kesepian yang kronis, pemisahan yang menyakitkan, dan keterpisahaan yang mencemaskan. Penyakit-penyakit kesepian ini meliputi depresi, stres, kanker, AIDS, penyakit jantung, narsisme dan bunuh diri–keseluruhannya telah meningkat tajam dalam “zaman keemasan” aspirasi yang memuncak dan individualisme yang berlebihan”.

Dean Ornish, Kardiolog seperti masih dikutip Holden juga,

Baca Juga  Courageous Leadership: Menjadi Pemimpin yang Berani

“Wabah sesungguhnya dalam budaya kita bukan hanya penyakit jantung fisikal kita, melainkan juga apa yang saya sebut penyakit jantung emosional dan spiritual–yaitu, perasaan kesepian, tersisih, terasing dan depresi mendalam, yang begitu jamak dalam budaya kita dengan runtuhnya struktur sosial yang dulu memberi kita perasaan terhubung dan berkomunitas”.

Modus jalan berputar yang diambil oleh si diri dalam mengatasi badai kesepiannya adalah dengan identifikasi diri: meng-aku pada segala kesementaraan. Cara ini dirasa memberinya isi pada sumur kehampaannya, memberi keramaian palsu dan rasa berada untuk bertahan hidup secara nelangsa dalam keterasingannya.

Yoan Tanamal, penyanyi cilik di era 80-an telah melantunkan dengan empatik identifikasi diri dan kesepian yang ingin diatasinya:

Aku sedih, duduk sendiri

Mama pergi, Papa pergi

O itu dia mereka datang

Aku senang, hatiku riang

Bukan ketiadaan mama, papa atau kesendirian yang sejatinya sebagai sumber kesedihan, tetapi pemusatan dan pementingan diri untuk menjadi perhatian dan diperhatikan adalah muara dari mana kesedihan itu berasal.

Berfokus pada diri sendiri adalah bongkahan keinginan untuk membuat kesan, bukan mencipta hubungan, mendamba dikagumi bukan keintiman, ambisi menang bukan perkhidmatan (Holden- 2007).

Allahumma yaa kaafiyal fardil dlo’iifi

Duh, Gusti pemelihara bagi yang kesepian dan lemah.

Kang abi– peminat kehidupan

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
10 - 4 = ?
Reload

Site Footer