Makanan Sisa, Jazirah Arab Hingga Staff PBB

Share this

Disela work from home, ada sebagian amanah yang mengharuskan datang ke kantor, meski itu membuat kami bergantian datang agar tidak bertemu satu sama lain. Bertujuan Mencegah penularan covid 19. Istilah kerennya physical distancing.

Sejenak melihat kebawah dari ketinggian Menara Bosowa Makassar. Dibawah terlihat manusia begitu kecil. Hari ini aku berada di tempat tinggi ini namun suatu masa, dulu pernah berada di posisi bawah, menjadi orang yang susah.

Namaku Misbah anak kelima dari enam bersaudara. Hidup dalam keluarga bahagia yang berkecukupan, setidaknya itu yang aku rasakan sebelum Ayah dipanggil yang Maha Kuasa.

Almarhum Ayah penderita diabetes. Maka ketika kuliah sebagai perawat diperkenalkan dengan istilah neuropati (saraf yang mati rasa), diabetic foot (luka kaki penderita DM yang lama dan bau), polifagia (cepat lapar), polidipsi (cepat haus) dan poliuria (sering kencing). Aku sudah familiar dengan itu semua jauh sebelum dosen mengajarkan kami di kelas, meski saat itu belum tahu istilah kedokterannya.

Ayah berulang kali keluar masuk rumah sakit. Di suatu hari saat akan rawat inap beliau memanggilku. Selepas Mencium kening, mengusap rambutku ia lalu berkata

“Rajin belajar nak ya, jaga ibumu”

Itu kalimat terakhir yang kudengar darinya. Beberapa hari berselang, disebuah pagi saat sedang maju kedepan kelas, menulis dipapan tulis. Sebuah ambulans meraung membelah hening.

Pak Rusdi, wali kelas IV kami saat itu. Memegang pundakku lalu berkata

“Kamu boleh pulang duluan nak”

Ambulans tadi berhenti tepat didepan rumah. Membawa jasad ayah yang tak lagi bernafas. Ibu berulang kali pingsan bahkan sampai tak sadarkan diri ketika tubuh suaminya mulai digotong menuju pembaringan terakhir. Ingin rasanya ibu menyusul ayah katanya. Namun enam anaknya yang menjadi penyemangat ibu bahwa ia harus bertahan, menemani kami menjalani sisa kehidupan.

Baca Juga  Terus Belajar Menjadi Ayah

Keluarga tak lagi sama selepas kepergian ayah. Bagai kapal yang kehilangan nakhoda utama mulai terombang ambing diterjang ombak. Dari yang berkecukupan menjadi pas pasan bahkan kekurangan.

Seingatku dulu setiap Idul fitri keluarga rajin datang ziarah kerumah. Maklumlah makanan lezat melimpah. Namun setelah itu, hanya sunyi dan sepi yang kami temui setiap hari raya. Ada gula ada semut. Mungkin itulah istilah yang cocok menggambarkan suasana kala itu.

Dulu Kami punya 10 ekor itik. Dari sanalah sumber protein kami peroleh. Setiap pagi memungut telur, sebagian kami jadikan lauk sisanya kami jual ke tetangga yang berminat.

Jika ada hajatan, aku yang bertugas membawa plastik besar. Datang ke tukang cuci piring, minta makanan sisa yang tak dihabiskan para tamu. Tentu saja para pekerja dibalik layar ini dengan senang hati berbagi. Buat pakan itik kami bu, jawabku lirih kala ditanya tujuannya apa.

Ada hal yang mereka tidak tahu. Makanan sisa itu Yang sebenarnya hanya cocok buat itik. Sebagian kami konsumsi kembali. Terkadang ada daging dan telur. Kami cuci dan olah kembali agar layak dimakan manusia. Alhamdulillah saat itu belum ada virus corona. Yang ada hanya TBC, tipes dan hepatitis 😀

Aku tidak malu dan risih menceritakan ini. Malahan bangga bahwa dulu aku pernah konsumsi makanan sisa orang, bahwa inilah jalan hidupku, yang membedakan kisahku dengan yang lain. Juga menjadi bukti bahwa Allah SWT bisa merubah hidup seseorang sepanjang ia mau berusaha.

Selepas SPK harus menunggu setahun karena ketiadaan biaya kuliah. Rasanya ingin lompat dari atap rumah ketika bertemu teman sekolah yang bertanya kamu kuliah dimana?

Baca Juga  Jauhi Mental: Endowment Effect

Daripada mengutuki keadaan, aku mengisi waktu dengan menjadi buruh kasar. LAN Antang Makassar, aku selalu tersenyum ketika melintasi bangunan megah ini. Tempat ini jadi saksi Disinilah dulu aku mengais rezeki. Mengangkat besi rangka bangunan sebesar jempol dari lantai 1 ke lantai 2. Sempoyongan dan pandangan berputar sesampai diatas.

Bukan sekali ditegur mandor saat duduk kelelahan. Kamu tidak cocok disini, kamu terlalu bersih dan terlalu lemah untuk jadi buruh kasar. Kami cuma diam sambil ngedumel dalam hati. Siapa juga yang mau begini terus.

Berbekal honor sebagai buruh aku pakai mendaftar bimbel dengan niat merubah masa depan. Maklumlah nganggur setahun membuat pikiran jadi buntu. Rezeki tak akan kemana. Seleksi mahasiswa berikutnya. Satu tempat di Jurusan Keperawatan Universitas Hasanuddin berhasil aku amankan.

Dimana ada kemauan disitu ada jalan nak. Itu kalimat yang meluncur dari mulut ibu ketika memberitakan bahwa aku lulus di UNHAS. Walau aku sendiri tahu ibu tak punya dana cukup untuk membiayai kuliah.

Nasiblah yang kemudian mempertemukan dengan Beastudi Etos Dompet Dhuafa Republika. Meski harus berjibaku melengkapi berkas karena mendapat informasi sehari menjelang deadline.

Beastudi Etos adalah laboratorium manusia tak hanya menawarkan uang saku untuk dihabiskan. Ia adalah rumah keduaku. Didalamnya segala mindset kami dibongkar, tentang kepemimpinan, pengembangan diri, agama, sosial dan akademik. Kalian boleh miskin harta tapi jangan pernah miskin paradigma. Doktrin itu dijejalkan ke otak kami oleh Pak Andi Taufik selaku koordinator wilayah.

Selepas kuliah mendapatkan berkah luar biasa lulus kerja di Saudi Arabia menjadi perawat internasional. Haru biru ketika melihat Menara Masjid Nabawi dari jauh. Terpesona dan merasa tak punya apa kala berdiri di tepat depan Ka’bah saat umrah.

Baca Juga  Hakikat Tentang Sebuah Hikmah...

Selepas kontrak di negeri Raja Salman berakhir kembali ke tanah air menjalani interview terlama dalam hidupku. 50 menit dikeroyok tiga interviewer dalam bahasa inggeris. Dari 45 pertanyaan hanya 1 yang miss, namun itu sudah lebih dari cukup untuk diterima dan bergabung dengan lembaga kemanusiaan internasional dibawah naungan PBB.

Jika kisah ini dianggap sebuah kesuksesan maka Beastudi Etos dan Dompet Dhuafa Republika ada disana menunjukkan jalannya. Tak ragu kami berikrar bahwa hidup kami berubah lebih baik #BerawalDariZakat.

Kami berdaya karena ada sebagian muzakki yang mengamanahkan sebagian hartanya untuk memanusiakan kami para Mustahik kala itu. Sesuai slogan Dompet Dhuafa Republika Menyantun Dhuafa, menjalin ukhuwah dan menggugah etos kerja.

Beastudi etos telah berhasil memutus rantai kemiskinan yang menjerat kami dan saatnya membalas dengan berdonasi agar penerima manfaat lain bisa merasakan apa yang kami lalui.

Sesuai ikrar yang Pak Andi doktrinkan ke kami. Hari ini menerima beastudi, besok sarjana gantian memberi beastudi.

Wallahu alam.
Misbahuddin Azis
Rabu 200520
Menjelang buka puasa

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
7 * 4 = ?
Reload

Site Footer