Entah apa yang menggerakkan hatiku, tiba-tiba aku ingin ambil bagian bersama teman-teman kelas inspirasi berbagi. Sebagai salah seorang relawan, mungkin dengan melakukan hal kecil, setidaknya aku berharap bisa menyumbangkan sedikit perubahan bagi bangsaku.
Menempuh perjalanan panjang dari rumah menuju SD Plumbon yang terletak di belakang lokasi lumpur Lapindo, kupandangi sawah menghijau di kiri kanan jalan. Namun semakin mendekati sekolah, bau busuk aroma lumpur Lapindo kian menyengat. Selain itu, banyak juga reruntuhan rumah yang ditinggal begitu saja oleh penghuninya karena begitu dekat dengan lumpur.
Sementara, beberapa teman tim relawan di kelompok lainnya harus melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai menggunakan sampan kecil untuk berbagi di sekolah yang lain. Duuh, betapa asyiknya!
Aku melihat anak-anak berlari berkejaran dengan gembira di halaman sekolah. Mereka seolah tak tahu bahwa sekolah ini suatu saat mungkin akan tenggelam.
Selang beberapa waktu kemudian saat semua murid sudah berkumpul, tepat pukul 7 pagi kami mengikuti upacara bendera. Sudah lama aku tak merasakan suasana semacam ini. Kusaksikan tingkah polah anak-anak saat upacara baru berjalan 10 menit. Ada yang saling cubit dan tendang. Aku tersenyum geli melihat tingkah mereka. Tertangkap pula olehku, wajah-wajah mereka yang begitu polos dan lugu.
Untuk orang seumurku yang lama tak mengikuti “ritual” ini, rasanya jelas berbeda. Aku benar-benar menikmati setiap detik prosesinya. Menyanyikan lagu kebangsaan, hormat pada bendera, dan mendengarkan paduan suara saat mengheningkan cipta. Ingatanku seolah terbang kembali di masa sekolah dulu.
Begitu upacara bendera usai, mulailah kulakukan aksi kecil di dalam kelas. Tugas kami sebagai relawan sederhana saja. Kami hanya bercerita pada anak-anak tentang profesi kami. Setiap kelas akan diisi oleh seorang profesional sepertiku, seorang fotografer, dan seorang fasilitator.
Jangan membayangkan kelas di sekolah ini diisi banyak murid. Di sekolah yang tanahnya sangat luas itu, total murid hanya 83 anak. Sedangkan profesional yang menjadi relawan hanya dua : aku dan Mbak Nurul, seorang aktivis sosial dari sebuah LSM internasional. Praktis kami berdua pun saling membagi kelas, di kelas 1-3 dan kelas 4-6. Setelah satu sesi mengajar, kami bertukar ke kelas berikutnya.
Huff… ini pengalaman baru dalam hidupku, mengajar sekitar 40 orang di dalam kelas selama 2 jam pelajaran tanpa pengeras suara. Dan yang kuhadapi anak-anak pula. Para trainer, apa yang terjadi setelah itu? Yaaa… suaraku hampir hilang.
Namun, aku menikmatinya. Dengan antusias, aku berbagi cerita mengenai asyiknya menjadi seorang penulis buku. Kubagikan pula semangat bahwa setiap anak harus punya impian karena impianlah yang akan menggerakkan kita untuk maju.
“Anak-anak, bunda ingin tahu, apa cita-cita kalian?”
Mereka pun menjawab dengan lantang, “Dokter, polisi, tentara, profesor!”
Apakah pembaca dulu pernah mengalami masa seperti ini?
Bukankah ini masa yang dirindukan? Masa ketika kita tanpa beban mengungkapkan cita-cita yang ingin kita raih. Namun, semakin beranjak dewasa, banyak yang makin ragu untuk mengucapkannya, apalagi mempertahankannya. 🙂
Di penghujung acara, anak-anak diminta menuliskan cita-cita mereka pada selembar kertas impian. Ya, selembar kertas impian berwarna-warni yang sudah dipersiapkan oleh teman-teman fasilitator untuk dibagikan bersama spidol. Sekadar kertas kecil memang. Namun aku berharap dengan menuliskan cita-cita di kertas itu, mereka tak akan pernah melupakannya hingga dewasa kelak.
Bahwa yang telah mereka tuliskan adalah hal besar yang ingin mereka capai nantinya. Hal besar yang menggerakkan hormon-hormon dalam tubuh mereka untuk mencapainya….
Terus bergerak maju anak-anak Indonesia!
Salam Inspirasi
Salam suksesmulia
@SofieBeatrix
Writerpreneur
2 comments On Kertas Impian
Inspiring sekali…Impian hari ini adalah kenyataan besok..I have a dream ..:) 🙂 (sambil terus bernyanyi )
Yeeahh.. hehe