Hari Rabu malam, saat saya sedang perjalanan Jakarta – Bogor, handphone saya berdering. Saya ragu untuk mengangkatnya karena nomor tidak saya kenal.
Namun, hati tergerak untuk mengangkat. Sang penelpon pun membuka percakapan “Assalamu’alaikum mas, masih ingat saya? Saya Jiyad. Saya lagi liburan di Indonesia, bisa kita ketemu? Saya mau sungkem sama mas Jamil.”
Ya, saya pernah menemani Jiyad 8 tahun yang lalu. Ia dan istrinya memiliki dua anak yang “bermasalah” ketika itu. Dua anak ini, sering melawan kepada kedua orang tuanya, berani mengambil uang orang tuanya untuk membeli rokok, sering bangun kesiangan sehingga tidak sekolah dan sering bermasalah dengan guru dan temannya di sekolah.
Ketika itu ia berkonsultasi kepada saya, karena saya tidak ahli dalam pendidikan anak maka kami sepakat untuk bertemu dengan psikolog dan seorang ustadz. Terapi dari psikolog dilakukan dengan seksama agar sang anak yang ketika itu berusia 13 dan 15 tahun tidak merasa sedang diterapi. Bersamaan dengan itu, kedua orang tuanya juga menjalankan “amalan” dari sang ustadz. Mau tahu amalannya?
Saat kami berkonsultasi, sang ustadz berkata “Anak adalah cerminan orang tua. Apabila anak bandel dan melawan kepada orang tua, kemungkinannya orang tuanya juga punya perilaku yang sama. Bersegeralah cari kesalahan kalian kepada orang tua kalian, setelah ditemukan kesalahannya segera minta maaf dengan tulus.”
Setelah beberapa bulan menjalani terapi dan saran ustadz, dua anaknya berangsur membaik, meski belum sesuai harapan. Mereka berdua masih kurang puas. Karena itulah, kedua orang tua ini menghadap kembali kepada sang ustadz. Mereka berkeluh kesah tentang anaknya.
Setelah berdiskusi dan ngobrol kesana kemari, sang ustadz bertanya “Apakah Ibu Jiyad juga sudah mencari kesalahannya dan kemudian meminta maaf kepada suami?” Sang istri menjawab “sudah ustadz.” Apakah Ibu Jiyad masih melakukan perbuatan yang sangat tidak disukai suami, saat tidak bersama suami?”
Saat itu, Ibu Jiyad terdiam, beberapa lama kemudian ia menangis dan berkata “saya masih melakukan perbuatan yang tidak disukai suami saat suami tidak ada, yaitu menonton sinetron. Bahkan, saya titip alat rekam di rumah salah satu sahabat saya untuk merekam sinetron yang tayang malam hari dan keesokan harinya saya menonton hasil rekamannya itu di rumah, saat suami bekerja.”
Saat itu, sang istri meminta maaf kepada suaminya dan dengan tulus sang suami pun memaafkan. Kehidupan terus berjalan, kedua orang tua ini terus memperbaiki diri, tidak lagi fokus kepada kenakalan atau kesalahan anak tetapi kepada sikap dan perilaku diri yang perlu diperbaiki, mereka pun tiada lelah mendoakan dan mendampingi sang anak.
Dan 8 tahun kemudian, sang anak telah tumbuh dewasa. Mereka kuliah di luar negeri, berprestasi, sangat memuliakan orang tuanya, orangtuanya pun bangga kepada keduanya, dan salah satu diantaranya hafal Al-Quran.
Sungguh, saya ikut bahagia mendengar cerita sahabat saya yang kini tinggal di Uni Emirat Arab ini. Semoga kita termasuk yang memuliakan, menghormati dan sangat mencintai orang tua kita dan pasangan hidup kita sehingga putra-putri kita pun memperlakukan hal yang sama kepada kita. Anak adalah cermin bagi kita (orang tua). Setuju?
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership
Founder Akademi Trainer
Founder Kampoong Hening
1 comments On “Kenakalan” Anak Adalah Cermin Bagi Kita
So inspiring. THANK YOU👍