Dunia yang saya rasakan saat ini “berubah begitu cepat.” Saya terkadang merasa tertekan dan kelelahan menghadapi perubahan. Dalam kondisi seperti ini, saya segera bertemu dengan istri untuk curhat sepuas-puasnya. Pelukan dan ide-ide yang terlontar dari mulut istri saat menanggapi curhatan saya itu menurunkan ketegangan.
Nasehat berulang dari istri yang sering saya dengar adalah “apa yang mas Jamil lakukan insya Allah berhadiah surga. Sesuatu yang berhadiah sangat mulia tentu tidak akan mudah dilakukan. Sesuatu yang mudah dilakukan itu hadiahnya kipas angin, kulkas dan sejenisnya.” Nasehat ini benar-benar menentramkan hati meski sudah sangat sering saya dengar.
Bisnis yang terus bergejolak ini memang memerlukan kelincahan (agility). Siapa yang tidak lincah dia akan punah. Merujuk kepada Clark, T.R (2008) dalam Epic Change: How to Lead Change in the Global Age, ada 3 dimensi personal agility dalam menghadapi perubahan: intelektual, emosional, dan fisik. Ketiganya satu kesatuan tetapi menurut saya, emotional agility perlu menjadi komandan bagi yang lain.
Tingkatkan emotional agility agar kita bisa menaklukkan perubahan dan tidak mudah stres. Ada tigal hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan emotional agility. Pertama, jadilah adaptif. Bila selama ini kita sudah sangat menikmati zona nyaman, waspadalah. Bersegeralah adaptif terhadap perubahan. Jadilah orang yang flexible namun tetap memiliki karakter diri yang kuat. Cepat menyesuaikan cara, toleran dalam menghadapi ketidakpastian namun tetap merujuk pada etika dan agama yang dianutnya.
Kedua, optimis menghadapi tantangan. Saat kerja kita biasa-biasa saja, kita perlu segera menciptakan tantangan baru yang benar-benar menantang. Tidak mudah puas dengan apa yang sudah dicapai. Kita “wajib” menciptakan kepuasan-kepuasan baru dalam bentuk mampu menaklukan tantangan baik yang kita ciptakan sendiri atau yang datang dari luar diri kita.
Ketiga, berkaryalah dengan tulus. Pencitraan dan mengharapkan pujian itu bisa merapuhkan emotional agility kita. Saat citra dan pujian tidak didapatkan maka stres, tumpukan kekecewaan dan hal-hal negatif akan datang merusak hati kita. Berkarya itu wujud syukur kita kepada-Nya. Kita diberikan banyak potensi dan talenta oleh-Nya maka optimalkanlah untuk menghasilkan banyak karya.
Berkarya adalah bentuk komitmen kita untuk meninggalkan legacy di bumi sekaligus menjadi modal pulang ke kampung yang abadi. Terus berlomba menciptakan banyak prestasi secara tulus, tanpa mengharapkan tepuk tangan dan pujian.
Semakin kuat emotional agility kita, semakin tenang kita menghadapi perubahan. Ketenangan hati akan memudahkan kita mengasah intelectual agility dan semakin bersemangat memperkuat physical agility kita. Cobalah…
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership
Founder Akademi Trainer
Inspirator SuksesMulia
Ingin ngobrol dengan saya? FOLLOW saya di twitter: @jamilazzaini. Atau, LIKE saya di facebook