Ego Is The Enemy

Share this

Setelah satu pekan penuh setiap hari saya memberikan training dari pagi hingga malam hari, pekan lalu saya melakukan me time, selama 2 hari. Saya menyendiri, bertafakur, merenungi perjalanan hidup, membaca buku dan menonton video pilihan.  Salah satu buku yang saya baca saat me time adalah Ego is The Enemy karya Ryan Holiday.

Menurut sang penulis, banyak orang menjalani hidup tidak mendapatkan kebahagiaan dan juga diliputi keserakahan. Salah satu sebabnya adalah karena  mereka “menuhankan ego.” Di dalam diri manusia, ada dua ego yang sangat berbahaya yaitu selalu ingin merasa lebih dibandingkan orang lain (sombong) dan ego ingin selalu mendapat pujian dari orang lain (haus pujian).

Kedua ego ini sangat merusak bahkan bisa menghilangkan sisi manusiawi seseorang.  Apabila kedua ego itu dirawat dan dibiarkan ada dalam diri seseorang makan orang tersebut  menjadi egois, jahat, serakah dan menggunakan cara-cara kotor untuk mewujudkan keinginannya. Dorongan utamanya agar dirinya bisa lebih hebat dibandingkan orang lain dan berbagai pujian datang untuknya.

Secara tidak sadar, terkadang kita merawat dan memanjakan ego. Kita sering dididik dengan kalimat yang menguatkan ego. Misalnya “kalau orang lain bisa, pasti kita bisa. Saya akan buktikan bahwa saya sanggup.” Apabila kita tidak diapresiasi atau dipuji, di dalam hati kita didik untuk berkata: “dia belum tahu ya siapa saya? Akan saya tunjukkan siapa saya agar ia tidak melecehkan saya.”

Apabila kita ingin mencapai performa terbaik dan juga menjalani hidup dengan tenang, damai dan bahagia, kita perlu melepas kedua ego tersebut. Karena memang merawat ego bisa menjadikan sifat-sifat iblis ada dalam diri kita. Bukankah karena kesombongan dan merasa lebih mulia dibandingkan yang lain menyebabkan iblis di usir dari surga oleh Sang Pencipta?

Baca Juga  Suami Selalu Salah, Istri Selalu Benar

Menaklukan ego bisa diawali dengan diam, paused, pit stop atau berhenti berbicara. Kita hanya berbicara apabila kita yakin bahwa bicara kita jauh lebih indah dan bermanfaat dibandingkan diam. Sang penulis menuturkan, orang yang banyak bicara dan selalu ingin didengar oleh orang lain itu menandakan bahwa orang tersebut telah dikuasai ego.  Kepada orang tersebut kita bisa berkata “menengo, tak bayar sampeyan,” artinya, kalau Anda diam, Anda saya bayar.

Pribadi yang rendah hati juga ditandai dengan keinginan untuk terus belajar, orang tersebut tidak sungkan menjadi murid. Setelah ia menguasai satu ilmu atau keahlian, dengan penuh semangat ia mengajarkannya kepada orang lain. Selain itu juga di dalam dirinya muncul kesadaran bahwa “di atas langit masih ada langit” sehingga pikirannya selalu terbuka dengan saran, ide dan pendapat orang lain. Tidak cupet, ngotot dengan pendapatnya sendiri atau merasa paling mengerti dibandingkan yang lain. Bukankah, otak dan pikiran manusia itu seperti parasut, ia baru berfungsi apabila terbuka?

Selain itu, melatih rendah hati juga bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan yang seolah terlihat sepele atau recehan. Misalnya, mengambil sampah yang tercecer di kantor untuk dimasukkannya ke tempat sampah, bersih-bersih rumah, melayani staf atau karyawan, ngepel rumah ibadah dan sejenisnya.  

Saatnya, kedua ego yaitu sombong dan ingin selalu mendapat pujian atau “tepuk tangan’ kita singkirkan dari diri kita. Bukankah nyamuk mati karena tepuk tangan? Hati nurani manusia pun bisa mati karena selalu berharap tepuk tangan (pujian) dari orang lain.

Salam SuksesMulia

Jamil Azzaini
Inspirator SuksesMulia

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Captcha
10 * 1 = ?
Reload

Site Footer