Dulu Hidup Saya Seperti di Neraka

Share this

Oleh: Burhan Sholihin

Bukan mau latah sok-sokan bilang stop #uninstalBukalapak. Cuma, saya bertemu dengan para pelapak langsung, wawancara via telpon ke pelapak asal Blitar selama satu jam, merasa sedih dengan anjuran tindakan gegabah itu.

Bayangkan ada 4 juta pedagang di Bukalapak, hidup mereka tergantung pada platform itu, tiba-tiba anjuran itu muncul. Bisa dibayangkan sedihnya para pelapak itu.

Saya ketika menuliskan kisah Zulkarnain, pelapak dari Cibinong ini sambil mbrebes mili, berlinang air mata. Sungguh tak terbayangkan perjuangan para pelapak itu. Saya bak butiran debu.

Lain kali saya cerita kan kisah mas Bambang Anto Ari Wibowo (fotonya ada bersama Achmad Zaky). Dia pelapak dari Blitar, yang cuma lulusan SMP, mantan pengamen dan sekarang sukses jualan pemotong bawang di Bukalapak dengan omzet Rp 150 juta per bulan

Ini kisahnya Zulkarnain yang bikin saya meneteskan air mata:

Hidup Zulkarnain dulu tak berbeda dengan Bambang saat masih mengamen, malah lebih buruk. “Hidup saya seperti dalam neraka dunia,” kata lelaki Medan yang cuma lulusan SMA itu.

Dia bercerita, saban hari dia bertengkar dengan istrinya soal pendapatannya yang kurang. Penghasilannya sebagai pedagang kacamata keliling dan pelapak kaki lima jauh dari memadai. Seringkali dia keliling keluar masuk pabrik menjajakan dagangan yang dimodali abangnya dan seharian bisa tak mendapatkan uang. Anaknya nyaris putus sekolah. Sesekali Zulkarnain menjadi pelapak kaki lima di Cileungsi, Kabupaten Bogor. Sejak SD dia memang tinggal di daerah “Bogor coret” itu, begitulah orang orang menyebutnya.

Suatu siang yang murung, Zulkarnain menyusuri jalan sempit yang penuh kesibukan. Dia menjauhi pabrik-pabrik.

dan berjualan kacamata hitam cengdem di pinggir jalan Raya Cileungs. Seceng (Rp 10 ribu) tapi adem. Siang itu ramai. Jalanan penuh dengan angkot-angkot reyot berwarna biru. Dari angkot itu turunlan banyak orang berseragam partai.

Baca Juga  Dibully Teman vs Ditulari Karisma Orang Tua

Hari itu memang musim kampanye. Zulkarnain ikut bungah dengan kerumunan orang yang makin siang makin ramai. Hilang sudah rasa murungnya. Ini pesta demokrasi Bung, semestinya rakyat juga ikut berpesta menikmatinya—dalam bentuk dagangan makin laris–setidaknya itulah yang ada di pikiran Zulkarnain.

Zulkarnain berupaya menjajakan kacamatanya yang dipajangnya di atas terpal biru di pinggir jalan. Tanpa meja. Saking senangnya melihat banyak orang berseliweran, dia tak melihat langit berwarna kelabu pekat dan bulat. Tiba-tiba, hujan deras turun tanpa aba-aba.

“Hujan sangat lebat. Saya bingung memilih berteduh atau menyelamatkan kacamatanya,” ujar Zulkarnain.

Zul kemudian memilih berteduh tak jauh dari sana. Rupanya, cobaan belum berhenti. Tiba-tiba air bah dengan cepat menerjang trotoar. Kacamatanya sebagian hanyut, sebagian lagi terseret lumpur. Beberapa ada yang bisa diselamatkan.

Itu hanya sebagian kecil, neraka dunia yang dialami Zulkarnain. Di lain waktu, dia berangkat sehabis Subuh. Uang di dompetnya hanya ada selembar uang Rp 20 ribu. Itulah modalnya untuk naik angkot pulang pergi, karena dia tak punya motor. “Soal makan-minum, sudah tak ada dalam pikiran saya,” ujar Zulkarnain.

Dia berjualan dari pukul 07.00 sampai 09.30 dan hasilnya hampa. Tidak seorang pembeli pun yang sekadar datang atau bertanya. Pukul 10,00 lagi-lagi hujan menjadi “musuh” bagi Zulkarnain. Hujan kembali membawa murung. Namun, dia sempat memberesi dagangannya. Kacamatanya selamat, tapi badannya basah kuyup. Dia berteduh sambil menunggu hujan reda. Namun, gerimis terus berkepanjangan. Akhirnya, Zulkarnain memutuskan pulang di tengah gerimis. Dia naik angkot dengan uang yang tersisa di dompet. Di angkot, badannya menggigil hebat. Zulkarnain berusaha keras untuk tidak ambruk.

Sampai di pintu rumah kontrakannya, seraut wajah muncul. Istrinya muncul. Mukanya kaget. Dia heran melihat pakaian Zulkarnain basah dan lelaki ceking itu menggigil.

Baca Juga  Belajar Dari Fathan Kamil

“Kenapa Abi?” tanya istrinya menyebut panggilan sehari-hari Zulkarnain saat di rumah.

“Kehujanan. Saya laper Mi. Dingin. Dagangan tak laku. ” Zulkarnain menjawab dengan kata-terpatah-patah. Istrinya yang biasa dipanggil Umi langsung menubruknya dan merangkul dan menangis.

“Ya Allah berat sekali ujian kami. Begitu beratnya suami saya mencari uang untuk kami sampai begini.” Mereka berdua akhirnya menangis bareng.

Setelah momen menangis itu, dengan uang tabungan yang tersisa Rp 500 ribu , Zulkarnain membeli enam kacamata. Anaknya yang duduk di bangku sekolah SMP kelas 3 mengajarinya untuk berjualan di Bukalapak.com. Dia memotret dengan ponsel jadulnya.

Perlahan bayang-bayang neraka dunia pergi menjauh dari hidupnya. Kini, dia di Bukalapak dikenal dengan tokonya Bang Zoel Kacamatar. Yang dijualnya bukan lagi cengdem, tapi sampai kacamata desainer kondang dari Paris Guy Laroche seharga Rp 1,8 juta.

Sungguh tak terbayangkan, perjuangan berat para pelapak seperti Zulkarnain harus dipatahkan oleh anjuran ceroboh #uninstallbukalapak

Yuk, dukung terus produk-produk buatan anak bangsa, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, Tiket, Go-jek, Warunk Upnormal, Kebab Baba Rafi, Lapis Bogor dll

Yang setuju mana suaranya…? Silakan share bila bermanfaat

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer