“Jika ingin belajar kegigihan, belajarlah pada bayi”. Pernyataan ini bukanlah tanpa sebab.
Cobalah kita renungkan bagaimana seorang bayi yang dengan begitu gigihnya belajar untuk bisa berjalan. Dimulai dari merangkak, belajar berdiri, kemudian berjalan. Berkali-kali ia harus terjatuh dan bangun lagi. Tapi pernahkah terpikir oleh bayi tersebut untuk berhenti berusaha dan mengklaim dirinya tidak berbakat untuk berjalan.
Namun, mental kegigihan itu ternyata dapat pupus secara perlahan dikarenakan sikap atau prilaku yang keliru dari orang dewasa di sekelilingnya (kebanyakan dengan dalih cinta dan sayang). Prilaku keliru tersebut, dapat berwujud dalam bentuk kalimat-kalimat tidak mendidik.
Di antara yang sangat sering kita dengar dan perhatikan, adalah larangan dan sikap menyalahkan benda-benda tertentu hanya karena seorang anak terjatuh disebabkan sebuah aktifitas.
Kita tentu sering mendengar kalimat pamungkas orangtua atau guru ketika anak terjatuh disebabkan belajar memanjat, bermain atau berlari. “Kan sudah dibilang jangan memanjat, tuh kan jatuh….”, atau “Jangan lari-lari, nanti jatuh”.
Model kalimat menyalahkan maupun larangan seperti ini berpotensi menjadikan anak tidak mampu belajar dari kegagalan. Atau kemungkinan negatif lain, anak akan belajar menyalahkan objek atau kondisi tertentu guna melindungi dirinya dari resiko tanggung jawab kesalahan.
Mungkin ini terkesan sepele bahkan terabaikan oleh kita para orangtua dan guru. Tapi ketahuilah, pembentukan karakter anak berawal dari pola asuh yang kita berikan pada mereka. Ingatlah bahwa Allah SWT tidak akan memberi cobaan jika makhlukNya tidak sanggup melewatinya.
Kita telah diberikan pundak untuk menanggung beban. Pundak hanya perlu latihan untuk membawa beban agar lebih kuat. Apa yang harus dikhawatirkan? Begitulah filosofi mendidik anak.
Saya teringat ketika meneliti bagaimana seekor ulat yang menggulung dirinya dengan serat yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya membentuk kepompong. Perjuangannya untuk menuju kesempurnaan dan keindahan sebagai seekor kupu-kupu bukanlah tanpa usaha dan rintangan.
Allah telah memberikannya perangkat untuk berusaha. Walaupun angin kencang menggoyang dahan tempatnya bergantung dan kemungkinan adanya kegagalan untuk menyempurnakan bentuk, namun ulat tersebut tetap melewati proses itu dengan gigih.
Kegigihan bayi dan ulat dapat jadi pembelajaran berharga bagi kita. Setiap pendidik dan orangtua pasti cinta dan sayang pada anaknya, serta tidak ingin anak terluka dan merasa sakit. Tapi, cinta dan sayang kita jangan sampai melemahkan, bahkan membuat anak tidak belajar dari kesalahan dan kegagalan yang dialaminya.
Bantulah ia untuk belajar, berhati-hati, dan mengambil hikmah dari apa yang dialami guna menjadi insan yang terbaik.
Laila Sari
1 comments On Cinta yang Melemahkan
memang katanya hendaknya tidak menggunakan kata2 larangan pada anak kecil ya, tapi solusi kalimat aktif yg sebaiknya dilakukan 🙂