Atas izin Allah swt, tahun ini saya bisa menunaikan ibadah haji. Saya memilih paket haji reguler, 40 hari. Tidak memilih haji plus, 26 hari, sebagaimana yang pernah saya lakukan pada tahun 2005.
Saya ingin lebih menikmati ibadah haji kali ini dan berlama-lama berdekatan dengan sumber energi, sumber inspirasi, sumber ketenangan hati yang berpusat di tanah suci.
Saya pun menetapkan komitmen untuk ibadah haji tahun ini “menjernihkan hati sebagai modal untuk dekat dengan Sang Pemilik Hati agar bisa berkontribusi besar bagi kebaikan negeri.”
Meski baru perjalanan awal, hati saya sudah “dicuci” oleh Allah swt. Semula, saya berprasangka bahwa layanan haji reguler itu tidak memenuhi kaidah service excellent sependek yang saya pahami. Faktanya, layanan haji reguler yang saya dan rombongam terima sangatlah luar biasa. Layanan sejak di tanah air hingga di tanah suci, menurut saya sangatlah excellent. Bila menggunakan skala 1 -10, dimana 1 adalah buruk dan 10 adalah sempurna, maka saya memberi nilai 9.
Ya, ternyata selama ini hati ini kotor dipenuhi prasangka. Ampuni hamba ya Allah, maafkan saya wahai para petugas ibadah haji karena saya pernah berprasangka buruk atas layanan kalian. Sungguh kalian semua telah membahagiakan hati kami dan mempermudah kami dalam menjalankan ibadah haji kami. Terima kasih, karena melalui kalian, Allah swt mulai “mencuci” hati saya, berprasangka.
Setelah tiba di Mekah dan usai menunaikan ibadah umroh wajib, tentu saya ingin lanjutkan dengan ibadah sunah spesial yang hanya bisa dilakukan di Masjidil Haram yaitu, Thawaf. Dan saya ingin thawaf di dekat kabah.
Ternyata thawaf di lantai dasar (dekat Kabah) diprioritaskan untuk mereka yang melalukan ibadah umroh (mengenakan kain ihram bagi laki-laki). Tanpa kain ihram, kaum lelaki tidak diizinkan thawaf di lantai dasar ini.
Akhirnya, sesuatu yang “jahil” pun muncul dalam hati saya “kalau begitu saya pakai kain ihrom saja, meski sedang tidak umroh, yang penting bisa thawaf di dekat kabah.” Niat jahil pun dijalankan. Hari Sabtu pagu sebelum pukul 3 dinihari saya pergi ke Masjidil Haram. Hasilnya? bukan hanya bisa thawaf, saya pun bisa sholat subuh di shaf bagian depan, dekat kabah. Keren bukan? Ya, awalnya saya berpikir keren dan berucap alhamdulillah berulang-ulang. Saya pun pulang ke penginapan dengan kegembiraan yang membuncah.
Saat saya sedang istirahat di kamar, seorang kyai besar, pimpinan salah satu pesantren di Bogor, datang ke kamar saya. Kami berdiskusi banyak hal. Salah satunya tentang thawaf di dekat kabah, memakai baju ihrom padahal tidak sedang umroh.
Sang kyai berkata pendek “itu pembohongan publik, di hadapan Allah swt saja berani pura-pura, bagaimana dalam kehidupan nyata. Thawafnya sah, tetapi boleh jadi tidak diterima oleh Allah swt.”
Jleb, hati saya kembali dicuci. Ternyata ada ibadah yang saya jalani hanya fokus kepada kepuasan dan kebanggan pribadi. Namun sangat kurang dalam rasa, adab, etika dan mempertimbangkan sesuatu yang sangat dicintai oleh yang saya sembah. Ah, betapa kotor hati ini.
Ya, Ibadah itu bukan tentang banyaknya dan kepuasaannya tetapi juga tentang kepentingan orang lain, etika, adab dan “rasa” ketundukkan sepenuh jiwa kepada Sang Maha.
Ternyata banyak kotoran hati yang tidak saya sadari, semoga bisa dicuci selama di tanah suci. Bantu hamba ya Allah, temani hamba ya Allah untuk terus berjuang membersihkan hati ini
Ya Allah, terima kasih karena Engkau telah kirimkan banyak hamba-Mu untuk menunjukkan noda-noda kotor yang tersebar dalam hati saya.
Makkah, 26 Juni 2022
Jamil Azzaini
Jamaah Haji Kabupaten Bogor
2 comments On Berjuang Menjernihkan Hati
Sehat sehat terus Kek
Belakangan ini baca postingan kek Jamil di instagram juga mengenai proses Haji ini. Luar biasa semakin banyak pelajaran untuk saya agar bisa menjadi semakin sukses mulia lagi. Terima kasih , kek Jamil 🙂