Oleh Dahlan Iskan.
Mantan Menteri BUMN RI
Tiba di Tianjin pekan lalu saya tersenyum: jumlah sepeda yang bisa disewa bertambah dua kali lipat. Begitu pesat perkembangan enam bulan terakhir.
Di rumah sakit tempat saya checkup pun begitu banyak sepeda sewaan. Sebelah gerbang selatan. Sebelah gerbang timur. Sebelah gerbang utara. Penuh dengan sepeda sewaan diparkir.
Enam bulan yang lalu hanya satu perusahaan yang menyediakan sepeda sewaan. Mobike. Warnanya kuning hitam.
Kini ada empat perusahaan yang bergerak di sektor itu. Dengan warna sepeda yang berbeda. Sistemnya saja yang sama. Gunakan handphone. Untuk memotret barcode di sepeda itu.
Sedetik kemudian muncul empat angka di layar handphone. Anda tinggal memencet tombol empat angka yang ada di kunci sepeda. Jlek. Kunci membuka. Anda sudah bisa menaiki sepeda itu ke mana pun.
Tidak perlu mengembalikannya ke tempat asal. Anda taruh saja di mana pun tujuan Anda. Tidak harus di tempat khusus. Di bawah pohon pun boleh. Yang penting Anda kunci lagi. Sebagai tanda Anda sudah selesai memakainya.
Untuk menentukan tagihan di handphone Anda. Nanti pasti ada orang yang memerlukan sepeda itu lagi. Biayanya pun murah. Hanya 1 yuan. Atau setara Rp 2.000 satu jam.
Rumah sakit yang merawat saya ini tidak menyediakan makan untuk pasien. Waktu makan siang, setelah pemeriksaan lab yang pertama, saya menuju gerbang belakang. Di kanan-kiri banyak sepeda sewaan parkir.
Saya praktikkan sewa sepeda itu. Gampang sekali. Untuk jarak dekat betul-betul lebih praktis. Dan lebih cepat. Katakanlah sampai jarak 5 kilometer. Daripada naik taksi. Apalagi jalanan macet. Tarif taksi adalah 8 yuan. Untuk 5 kilometer pertama.
Bahkan, barusan saya naik sepeda sewaan yang terbaru: tidak perlu pencet empat nomor. Begitu memotret barcode dengan handphone langsung jlek…kuncinya membuka sendiri.
Saya pun menikmati bersepeda sewaan. Di udara akhir September yang sejuk. Bisa melawan arus, kalau terpaksa. Asal di pinggir. Tidak dianggap melanggar. Setidaknya tidak disalahkan.
Saya lihat sudah begitu banyak orang lalu-lalang dengan sepeda sewaan. Teknologi informasi begitu mendarah daging sudah.
Tidak hanya bayar sepeda sewaan yang pakai handphone. Kini toko-toko sudah jarang menerima pembayaran dengan kartu debit atau kartu kredit atau uang cash. Sudah lebih banyak dengan handphone.
Menggunakan Alipay (grup Alibaba) atau WeChat. Maka seseorang yang sudah mengambil barang di toko langsung datang ke kasir untuk menyodorkan handphone.
Saya sempatkan berdiri di depan toko untuk melakukan pengamatan. Dari sepuluh pembeli yang saya lihat, hanya satu yang membayar dengan uang. Yang sembilan cukup menyodorkan handphone.
”Di pasar pun ibu-ibu beli sayur sudah dengan handphone,” ujar teman saya yang asli Tianjin.
”Praktis sekarang ini di Tiongkok tidak perlu mengantongi uang,” tambahnya. Juga tidak perlu punya dompet. Tidak ada kartu yang perlu dimasukkan dompet.
Dan yang lucu, mulai Imlek tahun lalu angpao pun sudah dikirim dengan WeChat. Teman saya, seorang bos perusahaan di Beijing, bercerita: tahun ini tadi semua angpao untuk anak-anak sudah 100 persen dia kirim via WeChat.
Tahun lalu hanya untuk anak-anak yang jauh yang dikirim via WeChat. Tahun ini tadi untuk anak-anak yang bertetangga pun angpaonya dikirim via WeChat.
E-money benar-benar sudah memasyarakat di Tiongkok. Inilah zaman matinya kartu kredit atau kartu debit. Di Tiongkok. Dalam hal ini Tiongkok sudah melompati Singapura sekalipun.
Kedatangan saya juga disuguhi berita baru: yuan sudah diterima sebagai mata uang internasional. Bocoran berita seperti itu sudah lama beredar, tapi bocoran kepastiannya baru keluar dari IMF pekan lalu.
Yang penting bukan informasi itu sendiri, melainkan spekulasi di balik penerimaan itu: akankah yuan menjadi pengganti US dollar (USD) di masa 30 tahun lagi?
Kenapa 30 tahun lagi? Rupanya ada yang menghubungkan dengan siklus seratus tahunan. Tiap sekitar 100 tahun mata uang yang mendominasi dunia selalu berganti. USD sudah merajai dunia sekitar 80 tahun. Artinya, 20 tahun lagi kemaharajaannya mencapai 100 tahun.
Raja 100 tahun sebelumnya adalah pound sterling. Mata uang Inggris. Yang mengakhirinya adalah Perang Dunia Pertama. Kekuatan pound sterling digerogoti Prancis dan Jerman.
Saat pound sterling melemah, frank-nya Prancis maupun mark-nya Jerman belum cukup kuat untuk menggantikannya. Maka perpecahan Eropa itu membuat dolar Amerika Serikat mengambil alih dunia.
Seratus tahun sebelum pound sterling adalah real Spanyol. Beriringan dengan penguasaan Spanyol atas hampir seluruh daratan Amerika. Mulai Argentina sampai California.
Sebelum itu lagi adalah gulden-nya Belanda. Sisa-sisa kehebatan Belanda di bidang keuangan ini masih terasa sampai sekarang. Kini pun Belanda masih sering disebut sebagai Yahudi-nya Eropa.
Itulah sejarah raja-raja mata uang dunia modern. Memang sejarah mencatat mata uang Roma (aureus) pernah merajai dunia. Itu 100 tahun sebelum lahirnya tahun Masehi.
Mata uang aureus lenyap seiring dengan runtuhnya Roma. Maka mata uang solidus (dari Kekaisaran Byzantium) menggantikannya.
Raja mata uang terakhir sebelum real adalah fiorino dari Kerajaan Florence (sekarang bagian dari Italia). Florence memang pernah jaya di bidang keuangan.
Di Florence-lah sistem bank pertama lahir di dunia. Kalau catatan itu tidak dianggap cacat. Sebab, Tiongkok juga mengklaim sebagai tempat lahirnya bank. Saya pernah mengunjungi tempat kelahirannya di Pingyao, sekarang masuk Provinsi Shanxi.
Sebenarnya banyak yang bercita-cita menjadi raja mata uang dunia. Tapi, yen Jepang ternyata gagal. Padahal, ekonomi Jepang pernah menjadi terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Dinar Arab juga gagal. Euro yang merupakan kesatuan mata uang Eropa juga belum berhasil menggeser USD.
Kini kita akan menyaksikan apakah yuan Tiongkok bakal mampu menggusur USD. Atau yang akan digusur menemukan cara. Agar menjadi raja abadi. Misalnya berdoa agar ada perang di Asia. (*)