Pak, bagaimana sikap yang harus saya ambil untuk mengatasi anak saya yang di Bully di Sekolahnya?
(Seorang Ibu di Jakarta)
Saya turut berempati dengan kejadian yang dialami anak ibu tersebut. Sedih memang menjadi orang tua yang anaknya mengalami kejadian seperti itu. Sayapun bisa merasakannya. Namun sebagai orang tua, kita tetep harus bisa memisahkan mana yang menjadi masalah anak dan mana yang masalah orang tua. Selama masalah itu tidak mengancam jiwa anak, saya rasa, masih menjadi masalah anak yang bisa kita bantu pecahkan masalahnya.
Sebelum menjawab pertanyaan, ijinkan saya sedikit mengupas mengenai Bullying. Setelah membaca pertanyaan seorang ibu tersebut di BBM, saya berusaha membekali diri saya dengan berbagai macam pengetahuan mengenai Bullying.
Hingga saya sempatkan beli banyak buku baru, karena saya pikir, masalah ini dialami juga oleh orang tua lain. Sayapun pernah menemui orang tua yang putranya mengalami hal serupa. Namun memang beda masalah beda penanganan, tidak bisa disamakan. Walaupun polanya terkadang bisa kita terapkan juga.
Berdasarkan berbagai macam sumber yang saya baca, ijinkan saya sedikit mendefinisikan terlebih dahulu mengenai Bullying. Bullying adalah perilaku kekerasan. Anak-anak terkadang mengalaminya juga di sekolah. Biasanya, dilakukan oleh teman-temannya. Jika anak-anak di –bullying, yang biasa dilakukan Ayah dan Bunda biasanya segera mendatangi sekolah, dan mengadukan perbuatan teman anak Ayah dan Bunda kepada guru.
Sebagian besar orang tua menganggap ancaman terhadap anak adalah masalah orangtua. Ortupun segera menyelesaikan masalah itu dan jika hal itu yang dilakukan, orang tua sebenarnya sedang mengambil alih masalah anak.
Ada satu contoh menarik mengenai Bullying yang bisa kita ambil hikmah pelajarannya. Kisah ini saya dapatkan waktu membaca buku. Judul bukunya : “Bicara Bahasa Anak” dituliskan oleh Bunda Rani terbitan Noura Books. Ijinkan saya menuliskan ulang kisah tersebut dalam tulisan ini.
” Bullying juga pernah dialami Ceuceu, anak saya (Ibu Rani-red). Ketika Ceuceu baru dua pekan masuk SMP, ia pulang dengan kaki kiri lecet. B esoknya, tangannya yang memar. Besoknya lagi kaki kanannya yang membiru. Setiap kali saya tanya, Ceuceu hanya menjawab, “jatuh” atau “kejedot”.
Saya percaya saja karena Ceuceu menderita diskleksia yang membuat otaknya sering salah mengukur jarak. Terkadang, ia melihat anak tangga sudah habis, padahal lantai masih agak jauh sehingga ia pun terjatuh. Di lain waktu, ia merasa sudah meletakkan gelas di meja, tetapi sebenarnya ia menaruh gelas di pinggir meja da akhirnya terjatuh ke lantai. Oleh karena itu, sejak kecil Ceuceu memang sering jatuh atau terbentur sesuatu.
Namun akhirnya, saya menyadari ada sesuatu yang salah ketika saya melihat luka Ceuceu yang berdarah. Ketika saya tanya, Ceuceu menangis dan menceritakan kejadian sesungguhnya kepada saya. Rupanya, selama sebulan terakhir, ia di-bullying oleh temannya yang bernama Retno. Ia sering memukuli anak laki-laki dan membuat anak perempuan menangis,. Menurut Retno, sebelum anak perempuan menangis, ia belum boleh menjadi anggota kelas.
Ceuceu menolak “aturan” dari Retno. Kata Ceuceu, “Emang lu siapa, beraninya mengatur hidup orang lain ?! Aku enggak akan mau nangis!” Mulailah Retno mengganggu Ceuceu tiap hari, berusaha ubtuk membuat Ceuceu menangis. Kadang Ceuceu didorong, dijatuhkan, atau bahkan dipukul. Ceuceu bertahan dan menolak untuk menangis.
Jika Ayah dan Bunda berada dalam posisi saya, apa yang akan dilakukan? Marah dan melabrak ke sekolah? Saya pun ingin sekali melakukan hal itu, tetapi saya ingat prinsipnya: Ini adalah masalah anak. Apalagi, Ceuceu sudah mengambil sikap ia ingin melawan “kezaliman” Retno. Ia tidak mau “dijajah” oleh Retno. Jika saya mengambil alih masalah, berarti saya tidak menghormati pilihan Ceuceu. Saya hanya boleh membatunya untuk mencari jalan keluar. Jadi, saya pun bersikap tenang.
“Wah, aneh juga ya, kok anak perempuan galak begitu?” tanya saya, berusaha meredakan situasi.
“Bukan,Bun … Retno itu anak laki-laki!”
Saya tertawa.
“Iiih … Bunda kok tertawa? Bukannya kasian sama aku!”
“Bunda tertawa karena kasian. Anak laki-laki kok diberi nama Retno?”
Ceuceu ikut tertawa, “Iya, ya Bun … kasian juga. Apalagi, tau enggak Bun, Si Retno itu dua kali enggak naik kelas!”
“Wah, sengsara juga ya?”
“Iya, ya, Bun … mungkin, karena itu ia jadi marah ke semua orang. Tapi, aku tidak mau kena getahnya.”
“Tidak enak, ya punya temen seperti itu. Apa ya, yang kira-kira bisa kita lakukan agar ia berhenti untuk mengganggumu?”
“Bagaimana kalau aku baikan saja sama Retno? Terus, membuatnya belajar. Mungkin, ia akan berhenti marah dan enggak mengganggu aku lagi, ya, Bun.”
Diskusi kami, mendorong Ceuceu untuk melihat Retno dengan cara pandang yang berbeda. Kini, ia justru merasa kasihan pada Retno. Selain karena namanya, juga karena tidak naik kelas dua kali. Akhirnya, Ceuceu menyimpulkan, kemungkinan Retno menderita disleksia. Setiap hari, ibu guru menyuruh Retno menulis di papan tulis, ia selalu saja salah tulis. Akibatnya ia ditertawakan teman-temannya.
“Mungkin karena itu, ya Bun. Retno jadi galak sama teman-temannya? Ia marah sama anak-anak yang menertawakan kebodohannya,” kata Ceuceu, berempati pada Retno.
Akhirnya, kami sepakat, saya akan datang ke sekolah dan pura-pura secara tidak sengaja menemui Retno. “Kamu teman sekelas Ceuceu, putrid Tante, ya? Bisa enggak titip kue buat Ceuceu?” pinta saya kepada Retno.
Retno memenuhi permintaan saya. Ia membawa kue dan menyerahkannya ke Ceuceu. Ceuceu membagi kue itu kepada Retno. Sejak itu komunikasi di antara mereka terjalin. Akhirnya, Retno mau curhat kepada Ceuceu tentang masalah disleksia-nya dan tentang orangtuanya yang tidak peduli pada masalahnya. Sejak itu pula, Ceuceu dan teman-teman sekelas tidak di-bullying lagi oleh Retno.
***
Berdasarkan kisah ini langkah yang bisa dijadikan alternative menangani kejadian anak yang di Bully adalah :
Pertama, Bicara hati ke hati. Ayah dan bunda, coba lakukan bicara hati ke hati terlebih dahulu, apa saja yang sebenarnya terjadi di sekolah. Didetailkan kejadiannya dan siapa saja pelaku yang membully.
Kedua, Temukan sikap yang harus diambil dengan berunding. anak diajak untuk ikut andil, kira-kira sikap apa yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Cara mengungkapnya bisa dengan 3P (Pikir, Pilih, Putuskan). Pikir, anak diajak untuk juga mencari jalan keluar sendiri, “Kira-kira kamu harus bersikap gimana ya nak?”
Pilih, jika sudah ketemu beberapa alternatif, coba ayah bunda ajak anak untuk memilih pilihan termudah dan bisa dilakukan serta efektif yang mana.
Putuskan, jika sudah diputuskan sikap tertentu, maka keesokan harinya, ayah bunda dampingi untuk memastikan, pilihan sikapnya benar-benar sudah dilakukan.
Ketiga, Mendatangi sekolah mengukur situasi. Ayah bunda bisa datang ke sekolah, mengecek perlakuan teman-temannya dan sebelumnya sudah memberitahu putri ibu Wulan. Cara bekerjasama dengan putri anak seperti contoh Ceceu di atas mungkin juga bisa dicoba.
***
Ingin Mengundang Training “Character Building for Parenting” sila hub:
SMS/WA : 081328602256
Pin BB : 7CAA883A
Follow :@DinarApriyanto
Simak www.dinarapriyanto.com
3 comments On Anakku di-bully Teman di Sekolah
Kuwereeen tenan mas… jd inget masa kecil…
KerON bang Dinar. SukrON ya sharingnya 😉
Yg bully itu berarti pupuk kandang kek , hehehe