“Mas, aku dilarang pake jilbab oleh keluargaku…” itu adalah kalimat yang diucapkannya dan membuat saya langsung menghela nafas panjang. Dan sejurus kemudian, mengalirlah kisah hidupnya sejak masa kecil.
Kalo di awal tulisan ini saya kutip pernyataannya langsung, maka kali ini saya ringkas saja ya. Sepertinya dia orang Feeling, golongan darah O, dibesarkan di keluarga Feeling, dan hobi nonton infotainment! Kebayang dong betapa luas (luas = panjang x lebar kan? :p) dan lebay-nya ceritanya… hehehe.
Dia mengisahkan sambil menahan luapan emosi betapa sejak kecil dia selalu dipersulit keluarganya bahkan untuk sekedar memakai rok panjang. Beranjak dewasa, dia mulai menyatakan keinginannya untuk berbaju lengan panjang atau paling tidak bernuansa feminin, namun lagi-lagi kembali dimentahkan oleh keluarganya. Dan puncaknya adalah ketegasan keluarganya ketika menolak keinginannya untuk memakai jilbab.
Kemudian setelah menarik nafas panjang beberapa kali dan terdiam sejenak, dia kemudian bertanya lirih kepadaku, “menurut mas Andhika, apa yang harus saya lakukan? Apa pendapat mas Andhika tentang larangan keluarga saya, mas?”
Pertanyaan yang sulit. (Kalo kata kek Jamil sih, pertanyaannya gampang. Jawabannya yang sulit. Hehehe) Saya hanya terdiam dan memandangnya yang terduduk di seberang meja tempat kita berdiskusi di kafe yang ramai tersebut (tenaaanggg….kami nggak lagi pacaran, juga nggak lagi ber-khalwat kok. Hihihi).
Akhirnya muncul juga jawaban di benak saya. Namun saya pun perlu mengambil nafas panjang beberapa kali dan mengumpulkan keberanian untuk menjawab, “untuk kali ini, saya setuju dengan pendapat keluargamu. Lupakan saja keinginan untuk berjilbab.”
BRAAAKKK! Tangannya refleks menggebrak meja dan raut mukanya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat. Reaksi yang sudah saya duga.
“Lohhh! Kok mas Andhika gitu sihhh! Berjilbab itu kan wajib mas? Gimana sihhh??”
“Iya betul, saya tahu kalo berjilbab itu wajib. Tapi mas Bambang kan bukan perempuan? Jilbab itu wajib untuk perempuan, mas. Sudahlah, ikuti saja apa kata keluarga ya…” ujarku menenangkan dirinya.
—-
Serius amat bacanya yak? Hahahaha. 😀
Tulisan ini sejak awal memang saya bangun untuk mengarahkan persepsi pembaca. Bahwa saya sedang berdiskusi dengan seseorang yang sedang menghadapi (sebut saja) diskriminasi dalam menjalankan aturan agama. Dalam menerima informasi baik lisan maupun tulisan, berhati-hatilah dengan persepsi yang dibangun dari informasi tersebut. Karena dengan kemampuan yang terasah dengan baik, persepsi tersebut bisa dibangun sesuai dengan keinginan sang pengirim informasi.
Tentu kita masih ingat hiruk pikuk berita dan informasi di musim pilpres lalu bukan? Sedemikian lihai timses dan jurkam masing-masing capres membangun persepsi, hingga akhirnya memilih satu di antara dua pun kemudian menjadi sangat sulit. Maka persepsi kemudian bisa menjadi pedang bermata dua yang bisa kita gunakan untuk hal positif ataupun hal negatif.
Nah, ilmu membangun persepsi ini juga bisa kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Kalimat 1 : “Laporanmu kacau banget sih. Nggak serius ya bikinnya? Ngapain aja di kantor? Fesbukan? Kan udah saya kasih waktu seminggu untuk susun laporan ini! Gimana sihh??”
Kalimat 2 : “Laporanmu sudah bagus dan cukup tebal. Tapi tidak ada data penjualan dalam bentuk rupiah yang ditampilkan. Padahal itulah yang kita butuhkan dari laporanmu. Perlu waktu berapa lama untuk memperbaiki laporanmu?”
Kalimat manakah yang lebih besar kemungkinan untuk mendapatkan persepsi positif dari lawan bicara? Kalo anda pengen lawan bicara anda tersinggung dan berharap dia mengundurkan diri, kalimat mana yang akan anda gunakan? Tentu anda sudah bisa menentukan.
Be ONtrack, be YOUR BEST!
Andhika Harya
Direktur STIFIn Institute
@andhikaharya
08164275778
7CAD7ABA
1 comments On Aku Dilarang Berjilbab
tulisananya kurang menggigit,,,dan gampang ditebak…dan sudah umum.thanks