Saya Tidak Perlu Ijazah from Trainer Leadership Indonesia

“Pak, Saya Tidak Perlu Ijazah”

Share this

Hari Minggu dan Senin pekan lalu keluarga saya berlibur ke Pulau Pari di Kepulauan Seribu. Di tengah perbincangan antar anggota keluarga, anak saya yang nomor tiga berkata “pak, saya tidak perlu ijazah. Saya tidak usah melanjutkan kuliah ya?” Saya kemudian bertanya “apa alasan kamu tidak melanjutkan kuliah?”

Anak saya menjawab “hampir semua pelajaran yang saya pelajari tidak diperlukan untuk masa depan saya. Contoh-contoh yang diberikan dosen sudah ketinggalan zaman. Daripada saya buang-buang waktu dan uang, saya keluar saja.” Bagaimana apabila Anda menghadapi kenyataan seperti yang saya hadapi ini.

Faktanya, tidak semua profesi yang ada di masyarakat saat ini, memerlukan ijazah. Bahkan tanpa ijazah sarjana pun banyak yang bisa sukses. Apabiila kita kelompokkan dalam hal pekerjaan, ada 5 kelompok orang yang ada di tengah-tengah masyarakat, yaitu:
1. Pengangguran (unemployee)
2. Karyawan (employee)
3. Jual Keahlian diri (Self Employee)
4. Pemilik Bisnis (Business Owner)
5. Pemodal (Investor)

Dari 5 kelompok tersebut, yang mewajibkan adanya ijazah apabila ingin berhasil hanyalah kelompok nomor dua dan tiga saja, yaitu: karyawan dan self employee. Selebihnya tidak memerlukan ijazah, bahkan kita juga bisa menemukan betapa banyak orang yang berijazah tetapi menjadi pengangguran.

Anak saya yang nomor tiga ini ingin menjadi kelompok yang keempat dan kelima. Dimana kelompok ini tidak mewajibkan adanya ijazah. Bahkan, saya juga menemukan banyak mereka yang tidak bergelar sarjana ternyata bisnisnya jauh lebih sukses dibandingkan yang sarjana. Karena memang di kelompok ini, ijazah bukan persyaratan mutlak.

Dari hasil diskusi akhirnya kami sepakat. Pertama, anak saya nomor tiga ini cuti selama satu semester dari salah satu PTN di Jawa Timur. Kedua, anak saya yang nomor tiga ini bersedia dicoaching dan dimentoring oleh kakaknya (anak saya nomor dua) dengan jadwal ketat dan target menantang serta terukur. Ketiga, anak ketiga saya ini berguru langsung dengan expert dibidang yang ingin ia kuasai.

Baca Juga  Nasihat

Per 01 Agustus 2018, program ini mulai berjalan. Selain anak ketiga dan kedua saya sudah membuat kesepakatan. Anak saya yang ketiga ini, hari ini bertemu dengan salah satu guru expert, alumni dari Jerman dan Australia yang kini menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi terbaik di Jakarta.

Saya, sebagai orang yang dilahirkan sebelum tahun 1970, dimana ijazah menjadi salah satu hal yang dianggap penting, awalnya gelisah dengan pilihan anak saya ini. Tetapi setelah diskusi mendalam dengan istri, anak ketiga dan anak kedua, saya semakin mantap dengan pilihan anak saya ini.

Dunia memang telah berubah, ijazah yang dulu dianggap lambang kesuksesan, saat ini banyak dari generasi milineal yang justeru berkata “Pak, saya tidak perlu ijazah”. Saya masih terus harus belajar menjadi orang tua.

Bagaimana pendapat Anda? Silakan bila berkenan disharing di kolom komentar untuk pembelajaran bagi pembaca lainnya.

Salam SuksesMulia

Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership
Founder Akademi Trainer

16 comments On “Pak, Saya Tidak Perlu Ijazah”

  • setuju, Pak
    Anak saya juga mulai kritis (SMP)
    Apa nilai itu menjamin aku sukses, Bu? Begitu katanya
    Saya respon, nilai , angka itu salah satu indikator untuk menilai pemahaman
    salah satu pintu sukses memang belajar dengan cemerlang…ingat salah satu…bukan segalanya

    sementara itu jawaban saya, Pak
    Dia mau wirausaha…pilihan kuliahnya nanti, karena terkait ijazah, adalah jurusan yang bisa menciptakan kerja
    dia masih bingung, antara arsitektur atau desain interior

    Terima kasih sharing-nya Pak

  • setuju pak…itu juga pesan almarhum bapak saya, kalo mau maju sukses…jadilah seorang expert..

  • Assalamu’alaikum mas Jamil.
    Menurut pendapat saya, putra mas Jamil hebat. Karena dalam usia muda dengan keyakinan dan mental yang kuat berani mengambil 1 keputusan yang sangat menentukan masa depannya. Jarang sekali anak muda jaman sekarang ini yang punya visi dan keberanian seperti putra mas Jamil. Smoga sukses dan menjadi embrio kebangkitan smangat bagi generasi muda saat ini maupun masa mendatang…Aamiin

  • Zaman memang berubah cepat. Tapi, tidak banyak pembuat kebijakan yang masih bergerak tidak secepat perubahan itu.

    Ijazah ibarat tiket. Kalau pas dibutuhkan, bisa dipakai sebagai tanda masuk. Jika tidak diperlukan, tidak dipakai. Pintu stadion di buka lebar. Ya, tidak apa-apa. Tiket posisinya berubah jadi ban serep.

    Saya termasuk orang yang masih menyarankan memegang tiket.

    Paralel menjadi jalan tengah yang bisa jadi pilihan. Sarjananya dibereskan dengan segera. Coaching dan mentoring jalan terus.

    Semoga setiap ikhtiar kita, menjadi catatan amal sholeh.
    Turut mendoakan apa pun jalan yang ditempuh ananda.

  • Iya…saya juga mengalaminya mas Jamil…bahkan anak saya masih duduk di kelas 4 SD..sdh memilih untuk keluar sekolah formal dan pingin khusus belajar agama..kami mengulur sampai kelas 6 tapi hanya bertahan sampai tengah semester kelas 5…ternyata … lonjakan prestasinya lbh tinggi…dia sdh bisa menyelesaikan hafalannya 2,5 juz dalam waktu 6 bulan, menguasai teknik memanah dan memperoleh medali emas yg pertama setelah 1 bln latihan…salam untuk putra mas Jamil…

  • Sangat setuju Kek… Mind set anak anak kita selama ini di bentuk bagaimana izajah sekolah dan sarjana jadi utama dan mencari kerja.. Itulah mengapa angka pengusaha Indonesia masih sangat rendah di banding negara tetangga, semoga dengan banyaknya komunitas yg mengajarkan untuk jadi pengusaha bisa merubah paradigma ini..

    Boleh juga kunjungi link di bawah ini untuk dapat informasi bagaimana menjadi pengusaha digital bit.ly/asistenonlineBUMSSATM

  • Sangat setuju Pak.. Saya e

  • Sangat setuju Pak.. Saya termasuk orang yang baru menyadari hal ini setelah menyelesaikan perkuliahan selama 3 tahun. Dan saya baru menyadari bakat terpendam saya setelah selesai kuliah, ternyata bukan pada jurusan yang saya tekuni selama ini. Dan hari ini saya bertumbuh dengan lebih baik dengan memilih fokus belajar agama, belajar hapal al-qur’an dan fokus mengembangkan bakat yang Tuhan titipkan kepada saya. karena kata Bapak, kalau bakat itu tidak di manfaatkan, itu artinya, saya kufur nikmat.

    Terimakasih Pak Jamil.
    Do’akan saya bisa menjadi Motivator juga seperti Bapak.

  • Tidak kaget juga klo putra ketiga bapak merasa tidak perlu ijazah , karena untuk pilihan ke-4 dan ke-5 kondisi keluarga/status keluarga mendukung untuk hal itu. Bapak dan mas Asa kan sudah banyal link, tinggal kemampuan putra ke-3 Bapak mengembangkan.

Leave a Reply to Agustin adi Cancel Reply

Your email address will not be published.

Site Footer